Naik Kapal Lagi; Efek Naiknya Harga Tiket Pesawat Terhadap Kehidupan Berumah Tangga

Saya memandang ke arah kapal dengan ngeri. Dari kejauhan, tampak antrian manusia yang demikian panjang dan semrawut. Semua orang berdesak-desakkan dan saling menyerobot antrian mencoba untuk mencapai tangga terlebih dahulu dan naik dengan tergesa-gesa. Belum lagi bayangan akan wangi semerbak dari keringat para penumpang dan buruh yang behimpit-himpitan sambil membawa barang bawaannya. What am I doing here?

Ah, bukannya saya sok tak mau naik kapal ketika berpergian. Bukan. Toh, dulu waktu pesawat belum terlalu populer, saya selalu naik kapal jika ingin pulang kampung. Hanya saja, saya tak sanggup jika harus tidur melantai atau mengemper di pinggir lorong ataupun di sela-sela tangga jika tak dapat tempat tidur. Sendirian pula. Yah, sejak beberapa tahun lalu, ada aturan baru bahwa semua kamar kelas di kapal PELNI harus ditutup dan semua penumpang hanya bisa membeli tiket ekonomi. Dan lagi, saya hendak ke Jayapura, butuh waktu 4 hari 3 malam jika naik kapal ke sana dari Tidore. Well, sekarang saya kerja di Tidore. Kenapa bisa pindah dari Morotai ke Tidore? Hmm… ceritanya agak lumayan panjang dan akan saya buat tulisan tersendiri untuk itu. *sokpenting* Hehehe….

Sebagai pejuang LDM (long distance marriage), kenaikan harga tiket pesawat yang luar biasa membuat saya tersiksa lahir dan batin. Rencana sebelum menikah bakalan ikut suami ke kota tempatnya bekerja harus pupus. Baru juga menikah, ternyata diterima jadi PNS di kota yang berbeda dari suami dan ketika sudah rela mengikhlaskan karena setidaknya kami bisa saling mengunjungi, ternyata harus diberikan lagi cobaan dengan harga tiket pesawat yang naik dengan teganya.

Sejak akhir Desember saya telah memantau harga tiket pesawat dari aplikasi di ponsel, namun hingga tanggal yang saya inginkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan turun. Saya pikir mungkin ini efek dari arus balik libur tahun baru, tapi dicek lagi prediksi harga hingga pertengahan tahun, harganya tetap bertahan tak kunjung berubah.

Saya segera memutar otak dan berhitung. Untuk sampai ke Jayapura dari Tidore, saya harus naik pesawat dari Ternate dengan transit semalam di Makassar. Biasanya, harga tiket dari Ternate ke Makassar hanya berkisar antara enam ratus ribu hingga tujuh ratus ribu. Kalau lagi high season palingan mentok di delapan ratus ribu. Malah jika beruntung bisa dapat tiket seharga empat ratus ribuan aja. Namun, hati saya mencelos ketika melihat harga yang terpampang di aplikasi. Hampir mencapai angka dua juta rupiah. Belum lagi harga tiket dari Makassar ke Jayapura, yang biasanya hanya sekitar satu juta tiga ratus hingga satu juta lima ratus, kini melonjak naik hingga lebih dari tiga juta! Itu artinya untuk pergi dan pulang saya harus merogoh uang hingga lebih dari delapan juta rupiah! Astaga, saat saya dan suami ke Jepang saja kami hanya perlu tujuh juta untuk pesawat dan hotel. Sampai di sini, bolehkah saya memaki meskipun dalam hati?

Saya jadi stress berat! Bagaimana jika keadaan ini terus berlanjut? Bisa-bisa saya dan suami hanya bisa bertemu saat lebaran saja. Sekali setahun. Duh, rasanya benar-benar tak sanggup. Setelah berpikir dan berhitung cukup lama, Tante saya memberitahu bahwa dalam waktu dekat ada kapal PELNI yang akan menuju Papua. Akhirnya saya memutuskan untuk naik kapal saja dari Tidore ke Sorong dan melanjutkan naik pesawat dari Sorong ke Jayapura. Kebetulan orang tua saya tinggal dan bekerja di Sorong, jadi bisa sekalian mengunjungi mereka di sana.

Untuk sampai ke Sorong butuh waktu delapan belas jam dengan kapal, biaya yang dibutuhkan sekitar tiga ratus ribuan, kemudian harga tiket pesawat dari Sorong ke Jayapura sekitar satu juta lima ratus ribu rupiah—meskipun normalnya sekitar delapan ratus ribu saja—tapi lumayan, saya dan suami bisa berhemat hingga 50%.

Dan akhirnya saya naik kapal lagi setelah sekian lama. Sendirian. Saya menatap tiga kardus titipan Tante untuk Mama dan Papa di Sorong sambil menghela napas panjang. Sebenarnya, saya nekat dan percaya diri mampu naik kapal sendiri dengan kemungkinan bakalan tidur di emperan lorong atau tangga karena hanya membawa satu koper ukuran 7 kg, namun entah kenapa barang bawaan saya jadi bertambah banyak. Bagaimana caranya saya menjaga semua barang ini nanti?

Tapi akhirnya dengan dibantu oleh buruh saya berhasil melewati lautan manusia yang berdesak-desakkan di pelabuhan. Sampai di atas kapal, saya hanya bisa tercengang karena melihat banyaknya penumpang yang sudah mengambil tempat di lantai deck dan hanya menyisakan sedikit saja ruang untuk berjalan. Lorong dan tangga pun telah penuh dengan penumpang lain yang tidak kebagian tempat tidur. “Barangnya mau ditaruh di mana?“, pertanyaan buruh menyadarkan saya. Ah, di manakah harus saya letakkan barang-barang iniiiii? Kalau hanya koper sih, saya bisa bertahan di cafe deck 7 hingga kapal sandar di pelabuhan Sorong—meskipun itu artinya saya harus rela tidak tidur semalaman.

Mungkin karena melihat saya yang celingak-celinguk kebingungan, ada seorang ABK (Anak Buah Kapal) yang menghampiri saya. ABK berseragam putih yang tampak berumur sekitar akhir tiga puluhan itu tersenyum ramah. “Ada yang bisa saya bantu, Mbak?“. Saya membalas senyuman ramahnya dengan senyuman kecut, dan buruh yang membantu saya sudah tampak tak sabar dan baju oranye miliknya telah basah oleh peluh.

“Saya bingung nih Pak, mau naruh barang di mana. Udah keliling daritadi tapi gak dapat tempat.“ Untung saja ABK tersebut baik hati dan langsung menawarkan untuk menitipkan saja barang-barang saya di bagian informasi untuk sementara.

“Mbak, sebenernya saya punya kamar yang disewakan. Kalau mbak mau, bisa di situ. Tapi nambah lagi dikit. Cuma ke Sorong aja kan? Mau?“.

“Nambah berapa Pak?“, saya bertanya dengan ragu-ragu. Kalau harus nambah banyak, sepertinya saya mau nongkrong di cafe aja sampai pagi.

“Tiga ratus ribu aja, Mbak.“ Usai mendengar itu saya langsung saja mengiakan. Yaudahlah, rugi dikit ini, daripada pas nyampe Sorong saya malah masuk angin karena terpapar angin laut semalaman. Hehehe….

Ah, gara-gara harga tiket pesawat naik drastis, saya jadi naik kapal lagi. Meskipun harga tiket pesawat sekarang udah turun dikiiiiiit banget, tapi tetap aja masih mahal! Dan sepertinya setelah turun—dikit banget itu—udah gak ada lagi yang protes. Hiks. Tapi semoga saja harga tiket pesawat yang melambung ini bisa kembali normal seperti sedia kala, biar para pejuang LDM seperti saya ini gak menderita! Dan maafkan jikalau postingan saya kali ini isinya malah curhat. Hehehe….

MERDEKA!

22 thoughts on “Naik Kapal Lagi; Efek Naiknya Harga Tiket Pesawat Terhadap Kehidupan Berumah Tangga

  1. toss! nasib kita sama, sesama pejuang LDM
    naiknya tiket pesawat ini memang bikin pengen memaki, bahkan bukan dalam hati saja
    naiknya gila-gilaan soalnya, sampai 100%

    plus, nda masuk akal juga kalau dari Jayapura naik kapal laut ke Makassar. kelamaan di jalan bok!

    • Huhuhu….iya daeng. Marilah sesama pejuang LDM untuk saling menguatkan!
      Tapi dehhh kalo mauki naik kapal dari Makassar ke Jayapura mending biarmi naik pesawat. Baru sampai di Jayapura, habismi masa cutiku. Hahaha….

  2. Kak dok kiwaaa duhh meskipun bukan LDM an, tp turut memaki atas mahalnya tiket ini. Dan penyesalan ku yg muncul adalah. Kenapa tak ke sorong tahun lalu. Ketika tiket murah murahnya huhu. Semoga ada rejeki ke sana jugaa :’)

  3. Yah, ortu saya juga bulan depan rencana mau ke Makassar dari Serui (Papua) tapi masih mikir-mikir karena harga tiket pesawat yang naiknya minta ampun…

    Iya yah kak, saya ingat dulu waktu naik kapal masih ada kelas-kelasnya sekarang udah nggak.

  4. Hikmahnya tiket pesawat mahal adalah kembalinya eksis si kapal Pelni. Jadi teringat era tahun 90an, naik kapal pelni itu mesti berjuang, berjuang untuk berdesak-desakan. Baru tahu dengan aturan barunya kalau Pelni tidak diperbolehkan lagi membuka kamarnya.

  5. MEmang menyedihkan, ya. Artinya juga iparku sekeluarga yang tinggal di Manokwari akan kesulitan mudik ke Pare pare karena harga yang gila-gilaan ini.

    Patut ditulis, Bu Dokter karena ini kan bagian dari sejarah ta’. Nanti sekian tahun ke depan in syaa Allah bisa dibaca lagi tentang harga tiket di awal tahun ini 😦

    Eh apakah yang saya bilang ini …. yaa …. intinya, saya turut prihatin.

  6. Langsung teringat pengalaman saya naik kapal dari nunukan ke pare-pare, buat pertama kali dan cuma sekali..hehe itu yang tawari kamar itu memang banyak sekali..ada bisnis dalam bisnis lagi di dalam kapal..mending nongkrong di cafe ..tapi sampai kapan..jadi terpaksa sempitan2 juga tidurnya..

  7. Baru beberapa keluarga datang dari Makassar 4 orang dengan kapal laut, pulangnya pun demikian, alasannya yah bagasinya juga mahal padahal mereka datang tujuan utamanya ke pasar Tanah Abang belanja pakaian 😁 katanya sih kalau naik pesawat terbang akan mahal ongkos bagasinya ☺️

  8. toss mba…walaupun buka pejuang LDM tapi biasanya suka nengokin mertua di jawa sekalian bawa anak2. dengan harga tiket segini sih…wassalam aja berkurang frekuensinya. secara perginya harus ber5

  9. Sudah lama tidak naik kapal, saya pikir peninat kapal sudah jauh berkurang, tapi ternyata tidak juga apalagi disaat harga tiket mahal-mahal banget…

  10. kenaikan harga tiket pesawat ini memang hampir tak masuk akal, apalagi yang ke timur Indonesia. pilihan lain yaitu naik kapal juga serba salah karena waktu tempuhnya yang lama.
    semangat ki, bu dok!

  11. Kenaikan harga tiket ini derita bagi pejuang LDM dan perantau kayak saya. Baru juga berencana mau pulang kampung pas lebaran setelah 8 tahun nda lebaran sama-sama, eh harga tiket naik gila-gilaan. Mana saya harus bertiga lagi perginya, huhuhu… *curcol juga*

Leave a Reply to liadjabir Cancel reply