Dokter di Pulau; Pusling ke Cio Dalam

“Mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera, bersama teman bertualang.” ~OST. Ninja Hatori

Tiba-tiba saja saya teringat dengan film kartun jaman saya masih kanak-kanak dulu. Perjalanan ke Desa Cio Dalam sama persis dengan lirik lagu tersebut. Desa Cio Dalam adalah satu di antara tujuh desa lain yang berada di ruang lingkup kerja puskesmas saya. Diantara tujuh desa itu, terdapat tiga desa—salah satunya Desa Cio Dalam—yang sangat sulit dijangkau karena harus melewati gunung, lembah, sungai dan juga laut. Sama persis seperti lirik lagu ninja hatori itu. Hehehe…

Hari senin pagi, saya, teman-teman dari Nusantara Sehat dan beberapa pegawai puskesmas yang lain sudah bersiap-siap untuk melakukan puskesmas keliling di Desa Cio Dalam. Setelah satu tahun bertugas di Pulau Morotai, baru sekali ini saya benar-benar menginjakkan kaki di desa ini. Dua desa lainnya meskipun sulit dijangkau, namun saya cukup sering berkunjung ke sana. Entahlah, saya juga bingung dan lupa alasannya mengapa saya selalu melewatkan kesempatan melakukan pelayanan kesehatan di Cio Dalam.

Perjalanan ke Desa Cio Dalam literally sama persis seperti lirik lagu ninja hatori yang saya senandungkan selama perjalanan ke sana. Sebelum sampai di Cio Dalam, kami harus melewati satu perkampungan kecil di pinggir pantai yang hanya terdiri dari delapan belas rumah saja. Kampung itu disebut dengan nama Loloro. Sebenarnya kami juga akan mengadakan pusling dan posyandu di situ juga, namun kami memutuskan untuk kembali saat sore hari saja. Butuh waktu hingga lebih dari satu jam hingga mencapai Loloro dari Desa Wayabula dengan menumpang mobil pick up milik seorang warga Loloro. Sebenarnya tak terlalu jauh, hanya saja jalanan yang berliku—naik turun gunung—juga tak sepenuhnya diaspal, terlebih lagi harus melewati beberapa kali yang airnya tak surut membuat perjalanan kami agak terhambat.

Sampai di Loloro, kami masih harus melanjutkan perjalanan beberapa kilometer lagi hingga tiba di ujung jalan setapak buntu yang ditutupi oleh semak belukar sehingga kami harus turun dari mobil dan berjalan kaki sejauh kira-kira satu kilometer memutar menyusuri pinggir pantai untuk kembali ke jalan utama yang juga ditumbuhi oleh rumput-rumput liar yang menjalar menutupi sebagian besar jalan setapak tersebut.

Setelah berjalan menyusuri pantai dan kembali ke jalan utama, saya terperangah memandang tanjakan yang semakin naik dan tinggi. Sudah hampir pukul dua siang, matahari berada tepat di atas kepala dan sebagian besar anggota rombongan kami tengah berpuasa—termasuk saya. “Dok, serius ini kita mau jalan kaki naik gunung?”, tanya Abi salah satu teman dari Nusantara Sehat. Glek. Saya menelan ludah dan memandang ke atas. Lalu mengalihkan pandangan ke arah rombongan kami yang lain. Masing-masing dari kami menggotong kardus-kardus MP-ASI (makanan pengganti air susu ibu), box besar berisi obat-obatan, timbangan bayi, termos berisi vaksin, satu kardus air mineral dan satu kantong plastik berisi nasi bungkus untuk bekal kami. “Tadi kata om yang nganter gak terlalu jauh, Bi. Ngelewatin satu tanjakan ini aja.” Jawab saya tak yakin. Ini benar-benar cobaan berat bagi kami yang berpuasa hari itu.

“Masih jauh, Dok. Bukan cuma tanjakan ini saja. Mungkin ada lima kilometer lagi. Habis ini masih harus nyebrang sungai lagi. Kita su tara sanggup. Tunggu ojek saja sudah.” Ujar Kak Hamid yang memang sudah beberapa kali ke sana. Wait, memangnya ada ojek yang lewat di tengah hutan antah-berantah kayak gini?

Belum sempat saya menyuarakan isi pikiran saya itu, terdengar deru motor dari kejauhan. Ah, ternyata saat di pinggir pantai tadi ada sedikit sinyal yang dipakai Jannah untuk menelepon ibu kepala desa agar kami bisa dijemput di sini. Saya menghela napas lega, meskipun hanya ada dua motor yang dipakai bergantian menjemput kami, setidaknya kami tak perlu berjalan mendaki sejauh lima kilometer lagi.

Saya berinisiatif berjalan perlahan sambil menunggu giliran untuk diantar. Tak ada tempat berteduh, yang ada hanya semak belukar. Pepohonan tumbuh jauh dari jalanan yang bersemak. Ah, ternyata saya sok kuat. Belum juga lima belas menit, saya sudah tak sanggup. Tanjakan dengan kemiringan hampir empat puluh lima derajat itu benar-benar menguras tenaga saya. “Dok, torang istirahat di situ sudah. Nanti puasanya gak kuat.” Tiwi menunjuk satu pohon yang lumayan membuat sekitarnya tak langsung terpapar sinar matahari. Saya hanya bisa mengangguk dan mengumpulkan tenaga yang tersisa untuk bisa sesegera mungkin berlindung di bawah satu-satunya pohon yang ada di sana. Jannah langsung merebahkan diri di atas semak-semak—ia tampak tak peduli apakah akan ada ular ataupun sejenisnya di situ. Sayapun demikian, langsung meluruskan kaki dan bersandar di potongan kayu besar yang sudah lapuk. Duh, masih jauhkah perjalanan ini?

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya tibalah giliran saya untuk diantar ke tepi sungai yang akan kami seberangi. Selama naik motor, saya bergumam sendiri, mana yang katanya cuma satu tanjakan? Ternyata masih ada tiga—eh atau empat—tanjakan yang tingginya sama, udah gitu masih jauh banget pula. Saya tak yakin sanggup jika harus berjalan kaki hingga ke sini.

Begitu sampai di pinggir sungai, saya agak khawatir melihat perahu yang akan kami tumpangi. Namun untung saja kami bisa menyeberang dengan selamat dan masih harus berjalan kaki sejauh kira-kira dua ratus meter lagi dan akhirnya sampailah kami di Desa Cio Dalam dan langsung disambut dengan hujan deras. Duh, kalau hujan kayak gini, sepertinya kami tak bisa pulang karena air kali yang banjir. Mobil atau motor pasti tak bisa lewat.

Saya jadi teringat, beberapa waktu lalu ada seorang pasien bayi berumur tiga bulan—berasal dari Cio Dalam—yang saya curigai menderita pneumonia. Saat tiba di puskesmas, hujan tengah turun sangat deras. Bayi tersebut dibalut jaket seadanya, suhu tubuhnya mencapai hampir empat puluh derajat dan terlihat sangat sesak. Keadaannya sangat memprihatinkan. Saya benar-benar tak bisa membayangkan anak sekecil itu dipaksa menembus hujan dengan mengendarai motor dari desa yang jaraknya jauh dan sangat sulit ditempuh seperti ini. Jadi, begitu meletakkan semua barang bawaan kami di rumah ibu kepala desa, mata saya mulai mencari bayi tersebut di antara bayi-bayi lain yang tengah antri untuk ditimbang dan diimunisasi.

Ah, ketemu. Tak sulit menemukan bayi berambut tebal dengan mata bulat lucu itu. “Bu, bagaimana anaknya? Su sembuh? Kapan keluar dari rumah sakit?”. Saya menghampiri ibu tersebut. “Iya, Dok. Su lama keluar. Su sembuh.” Saya menarik napas lega sembari berpikir, meskipun desa ini sangat sulit dijangkau dan juga jauh dari fasilitas kesehatan, kenapa ya mereka masih betah tinggal di sini? Ah, sumber pencaharian mereka di sini. Jika tak berkebun di sini, bagaimana cara mereka bertahan hidup? Dilema.

***

Hampir setengah enam sore, semua kegiatan dari posyandu, pemeriksaan kesehatan umum, penyuluhan dan juga pemeriksaan ibu hamil telah selesai kami laksanakan. Hujanpun telah berhenti. Menurut Kak Hamid, kami tak akan sempat melakukan posyandu dan pusling di Loloro jika melewati jalan darat lagi, jadi mau tak mau kami harus menaiki perahu mengikuti sungai hingga keluar di laut sampai di Loloro. Saya bergidik ngeri. Pertemuan antara muara sungai dan laut ombaknya cukup besar. Jika melihat perahu yang akan kami tumpangi saya merasa tak yakin bisa keluar dari muara.

“Om, kalau tara bisa lewat, torang berhenti di sini saja sudah. Jalan kaki saja ikut jalur pantai.” Saya menatap ombak yang bergulung dan kemudian pecah memukul air sungai. Wajah Kak Cos yang duduk berhadapan dengan saya sudah pucat pasi, lipstik merah menyala yang ia kenakan tadi sudah habis tak berwarna. Tiwi dan Jannah tak henti berkomat-kamit membaca doa. Kak Hamid dan Eri yang duduk di belakang saya tak dapat saya lihat bagaimana keadaannya. Abi memeluk erat lengan saya, ketakutan. Saya memeluk erat tas ransel yang berisi kamera mirrorless yang baru saja saya beli, stetoskop dan telepon genggam. Konyol memang, tapi saya bertekad, pokoknya kalau perahu ini terbalik karena dihantam ombak, ransel ini harus saya selamatkan lebih dulu.

Untung saja yang saya takutkan tak terjadi. Entah bagaimana caranya dan setelah berteriak histeris berkali-kali, akhirnya kami bisa melewati muara dan masuk di lautan bebas.

Saya pikir kami sudah selamat dari kemungkinan perahu yang tenggelam, namun begitu mendekati bibir pantai Loloro, rasanya perut saya kembali melilit. Ombak di sini jaaaauh lebih besar daripada di muara sungai tadi. Bahkan rasa-rasanya bisa dipakai untuk berselancar. Bagaimana caranya perahu kami bisa bersandar dengan ombak yang saling berkejaran dan demikian besarnya?

Kira-kira lebih dari lima kali perahu kayu kami berputar-putar di sekitar bibir pantai Loloro, mencari celah di antara ombak untuk bisa masuk ke tepi pantai. Sumpah, ini benar-benar lebih mengerikan dari sekadar dikejar kecoak terbang. Apalagi ketika perahu kami belum sempat memutar dan miring hampir terbalik dihantam ombak. Saya hanya bisa berteriak histeris sambil terus melafalkan semua surat pendek di Al-quran yang saya hafal. Di tepi pantai terlihat beberapa warga Loloro yang melambai-lambaikan tangan berusaha memandu motoris kami untuk bisa sampai di sana.

“Jangan ada yang bernapas.” Seru om motoris yang membawa perahu itu. Entahlah dia bercanda atau tidak, tapi saya benar-benar menahan napas karena tegang. Tiba-tiba perahu melaju dengan cepat dan setelah menghindari ombak beberapa kali, ujung perahu kami menyentuh pasir pantai yang langsung disambut dan ditarik dengan cepat oleh para pemuda kampung Loloro sebelum perahu disapu ombak lagi. Saya segera melompat keluar dari perahu. Ah, akhirnya bisa menyentuh daratan lagi. Meskipun saya pandai berenang, tapi dengan keadaan yang seperti tadi, rasanya kemampuan berenang saya bisa hilang karena panik. Hehehe…

Saya memandang ombak yang bergulung. Berpikir. Bagaimana caranya kedua bapak yang mengantar kami ke sini bisa kembali ke Desa Cio Dalam jika begini keadaan ombaknya? Namun, ternyata kekhawatiran saya itu tak beralasan. Dengan gagah berani dua orang tersebut kembali menaiki perahu kayunya dan langsung saja menghantam ombak yang menerjang. Perahu mereka melompat dan terbanting dengan keras, namun tak terjadi apa-apa. Mulut saya terbuka lebar, kaget. Astaga, mereka pikir perahu mereka itu papan selancar? Bisa dipastikan jika begitu cara mereka mengendarai perahu saat kami masih menumpang di atasnya, pasti kami telah jatuh di atas laut. Bukan karena perahu yang terbalik, tapi karena terlempar. Hahaha…

Mungkin karena penduduk di kampung Loloro tak begitu banyak, kegiatan kami selesai hanya dalam waktu satu jam saja. Ternyata ambulans puskesmas kami telah menjemput. Kak Samsir—supir puskesmas kami—menyuruh kami untuk segera berkemas, karena kali yang akan kami lewati airnya meluap hingga setinggi pinggang orang dewasa, jika kami menunggu lebih lama lagi, dikhawatirkan luapan airnya akan semakin dalam dan ambulans kami tak bisa melewatinya.

Sudah lewat pukul sembilan malam ambulans kami tiba di puskesmas. Setelah hampir terjun bebas dari tebing dengan ambulans dua kali dan juga hampir tenggelam karena ombak yang besar di laut, akhirnya kami bisa pulang dengan selamat. Tubuh saya rasanya sudah remuk tak karuan dan baju sudah menempel basah di kulit. Sungguh hari ini tak akan pernah saya lupakan. Meskipun banyak kejadian yang seharusnya membuat saya kapok, tapi saya justru ingin kembali ke sana lagi. Semoga saja warga Desa Cio Dalam selau sehat wal afiat yak!

Duh, jadi pengen nyanyi lagu Balada Dokter Kontrak.

“Di desa dan di kota, bagiku sama saja, walaupun di tengah malam, bagiku tugas tetap kujalankan.” 🙂

Leave a Reply