Keluar Dari Zona Nyaman

“Di desa dan di kota, bagiku sama saja, walaupun di tengah malam, bagiku tugas tetap kujalankan.”

Demikian penggalan lagu balada dokter kontrak yang sampai saat ini masih lekat di ingatan saya. Bagi yang tidak tahu, lagu itu merupakan hapalan lagu wajib bagi mereka yang baru saja masuk menjadi mahasiswa kedokteran. Bagi saya, lagu tersebut bukanlah hanya sekedar hapalan tetapi sudah seperti suatu bentuk ideal seorang dokter masa depan yang saya inginkan.

Ketika mendapatkan tawaran untuk bekerja sebagai dokter PTT (pegawai tidak tetap) di suatu pulau di perbatasan filipina sana, saya tak membutuhkan waktu lama untuk berpikir untuk mengatakan iya. Dalam benak saya, kapan lagi saya punya kesempatan seperti ini? Meskipun banyak dibutuhkan dokter PTT di daerah lain, namun bagi saya mungkin ini adalah rejeki, karena saya tak mencarinya namun tawaran itu yang datang sendiri. Tekad saya semakin bulat ketika mendengar bahwa sudah lama tak ada dokter yang bertugas di daerah itu. Dan anggap saja keadaan alam juga pantai dan terumbu karang yang indah merupakan bonus untuk saya. Meskipun orang tua saya agak keberatan untuk melepas anak gadisnya pergi jauh, namun setelah saya yakinkan berkali-kali akhirnya sayapun mendapatkan ijin mereka dengan berbagai macam syarat.

Kata teman-teman saya, ngapain pergi ke pelosok kalau bisa kerja di kota? Well, katakanlah saya idealis. Ah, tapi sepertinya idealis itu terlalu mewah untuk saya. Mungkin lebih tepatnya sebut saja itu sebagai keyakinan saya. Bahwa untuk bisa sukses, saya harus menguji diri saya sendiri. Untuk bisa menjadi hebat, saya harus bisa keluar dari zona nyaman saya. Bagaimana caranya? Ya, merantau. Pergi mengabdi. Kalau perlu ke pelosok terkecil sekalipun. Duh, sebenarnya ini sangat berat. Setelah sekian lama hidup dalam hingar bingar kota, terlena akan segala kemudahan dan fasilitas yang ada, kemudian saya harus pergi ke daerah yang bahkan jaringan listriknya padam selama dua belas jam tiap harinya, juga jaringan internet maupun telepon yang sulit dijangkau, tentu saja terasa berat bukan? Dan yang paling berat sebenarnya adalah saya harus berpisah (lagi) jauh dari orang tua. Jauh dari rumah. Jauh dari keluarga.

Tapi, mumpung saya masih muda (yakin lo?) dan belum berumah tangga, saya pikir saya harus mengabdikan diri saya untuk kepentingan orang banyak (sebelum mengabdi pada suami). Membayangkan saya akan pergi ke daerah pelosok dan melakukan pemeriksaan kesehatan keliling di desa-desa saja mampu membuat saya tersenyum sendiri.

Dan besok, saya sudah mulai bertugas di sana. Doakan semoga saya berhasil keluar dari zona nyaman ya guys!

 


Note : Maapkan jika postingan kali ini isinya curcolan. 😀

Leave a Reply