“Ky, di Morotai lagi butuh dokter PTT. Ngana su bole bapraktek toh? Kerja di sini dah.”
Saya teringat kembali percakapan via telepon dengan kakak sepupu saya yang akhirnya membawa saya menginjakkan kaki di pulau ini. Sebuah pulau yang terletak di ujung utara Indonesia, tepat berbatasan dengan Filipina. Sebuah pulau yang masih tergolong dalam kategori terluar dan terpencil. Sebuah pulau yang disebut Pulau Morotai.
Awalnya, saya sama sekali tidak terpikir untuk mengabdi di pulau ini. Letaknya di mana saja, tidak saya tahu. Saya hanya sering mendengar bahwa Pulau Morotai memiliki banyak pantai dengan laut dan terumbu karang yang indah. Dan meskipun setelah tahu seperti apa keadaan dan lokasi tempat penugasan saya nanti di sini, saya masih tetap berkeyakinan untuk mengabdikan satu tahun saya di sini. Di pulau yang menyimpan sejarah perang dunia II.
Saya ditugaskan di suatu desa yang disebut Wayabula. Desa yang terletak di ujung selatan pulau morotai. Tepat di ujung. Karena setelah desa wayabula, hanya ada jalan buntu. Untuk sampai di sini, saya harus menaiki pesawat ATR dari Ternate menuju Morotai dalam waktu kurang lebih tiga puluh menit saja. Sampai di Daruba—ibu kota Pulau Morotai—saya masih harus melalui perjalanan darat selama satu jam untuk sampai ke desa tempat saya bertugas. Jalanan ke sana lumayan ekstrim, dikarenakan ada beberapa jembatan yang hanya terbuat dari batang-batang pohon yang dijejerkan dan bila hujan tiba, kemungkinan untuk tergelincir dan jatuh ke sungai sangat mungkin terjadi.
Kesan pertama yang saya dapatkan ketika baru tiba di Desa Wayabula adalah—panas. Jelas saja, desa ini kan terletak di pinggir pantai. Hehehe…
Minggu pertama bertugas benar-benar merupakan cobaan bagi saya. Cobaan, apakah saya benar-benar ingin dan mampu untuk bisa bertahan di sini.
Bagaimana tidak? Baru juga datang, tak lama kemudian listrik padam hingga seharian penuh, lalu nyala lagi namun hanya bertahan tiga jam lamanya. Tidak sampai di situ, jaringan telepon yang biasanya lumayan lancar, sama sekali tak ada. Hilang. Saya jadi tak bisa menghubungi Papa untuk sekadar memberitahu bahwa anaknya telah tiba dengan selamat. Bahkan saya juga tak bisa mengucapkan selamat ulang tahun untuk beliau. Lalu, tak lama kemudian pompa air di rumah juga rusak. Tapi untungnya masih ada air di sumur yang bisa ditimba.
Di sini, kesabaran saya benar-benar diuji. Namun, saya jadi lebih banyak dan mudah bersyukur, bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Ketika listrik kembali menyala meskipun hanya beberapa jam saja, saya sudah kegirangan. Ketika jaringan telepon kembali normal meskipun internet tak bisa, saya sudah sangat bersyukur. Apalagi ketika air kembali mengalir? Wah, rasanya sangat senang karena saya tak perlu lagi mengangkat air bolak-balik dari sumur. Hal lain yang sangat saya syukuri di sini, warga dan semua rekan kerja saya sangat baik dan ramah.
Pelajaran lain yang saya dapatkan di sini selain belajar sabar dan syukur adalah, kemampuan bertani saya meningkat! Hahaha… Karena di sini jarang ada penjual sayur yang lewat, pasar pun hanya buka tiap hari selasa dan kamis, mau tak mau saya harus mulai belajar bercocok tanam, meskipun hanya menanam bayam dan kangkung. Itupun dibantu oleh kakak-kakak dari puskesmas. Hehehe… Kemudian, karena tak ada kulkas di rumah—kalaupun ada, tak bisa digunakan karena listrik lebih sering padam—saya jadi tahu agar ikan tak mudah rusak, saya harus merebusnya terlebih dahulu. Duh, itu pengetahuan umum yang terlambat saya ketahui.
Tinggal di sini, kegemaran saya untuk banyak makan dan ngemil harus ditahan. Iya sih, soalnya jarang ada penjual makanan, kalaupun saya sangat ingin ngemil atau makan cokelat, saya harus pergi ke kota dan membeli cemilan sebanyak-banyaknya untuk persediaan selama di tempat tugas. Hehehe…
***
Tepat seminggu setelah bertugas di Puskesmas Wayabula, akhirnya saya jatuh sakit. Demam hingga hampir 39°C! Mungkin karena perubahan cuaca, atau mungkin saya tertular pasien saya yang didominasi oleh pasien ISPA (infeksi saluran pernapasan akut), atau mungkin saya aja yang lebay karena homesick! Hehehe…
Meski begitu, saya juga tak berani bilang sama mama kalau saya sakit. Takut beliau khawatir dan ujung-ujungnya malah membatalkan ijinnya untuk saya bekerja di sini. Untung saja, saya segera sembuh setelah satu minggu menderita karena demam yang tak kunjung reda.
Kalau ada yang bertanya lagi, apakah saya masih bersemangat untuk tetap bekerja di sini? Dengan pasti dan yakin saya akan menjawab, “YA!”. Mungkin, saya berpikir seperti ini karena saya belum berkeluarga, belum bersuami, sehingga saya bisa dengan senang hati bekerja di daerah yang sulit tanpa beban.
Karena, mengabdi itu bukan soal keren-kerenan. Karena, mengabdi itu harus dari hati. Semangat untuk semua rekan sejawat yang masih terus berjuang mengabdi di daerah terpencil, terpelosok dan terluar Indonesia! Kalian semua luar biasa!