“The most romantic love story isn’t Romeo and Juliet who died together, but Grandpa and Grandma who grew old together.”
Tak seperti biasanya Puskesmas Wayabula pagi itu terlihat cukup sepi. Hanya ada satu orang pasien yang sedang mendaftar di loket. Seorang pegawai puskesmas yang bertugas memeriksa tekanan darah pasien dan beberapa pegawai lainnya yang duduk masing-masing di ruangannya berkutat dengan laporan akhir bulan yang harus segera diselesaikan. Oh iya, ada juga tiga orang pegawai lainnya yang sedang duduk mengobrol dengan suara berbisik di pintu masuk.
Langit terlihat mendung, meskipun rintik hujan belum juga jatuh. Mungkin saja karena mendung puskesmas jadi sepi. Orang-orang lebih memilih untuk berdiam di rumahnya atau mungkin saja semua warga Desa Wayabula semuanya sehat-sehat saja. Alhamdulillah. Setelah memeriksa pasien pertama yang datang, saya ikut duduk dan bercengkerama dengan tiga pegawai lainnya di depan pintu masuk. Baru satu menit, ada yang menarik perhatian saya. Dari ujung pagar puskesmas terlihat pasangan yang sudah lanjut usia saling bergandengan tangan. Berjalan tertatih dan sangat hati-hati secara perlahan-lahan. Si kakek dengan sabar menuntun si nenek hingga masuk ke dalam puskesmas. Nenek tersebut menggenggam dengan erat tangan si kakek seakan takut terpisah. Saya tersenyum melihat pasangan tersebut. Ah, sungguh pemandangan yang romantis.
Saya jadi berandai-andai, akan seperti apa saya lima puluh tahun ke depan. Apakah saya akan menemukan seseorang seperti kakek tersebut? Yang tetap menggenggam erat tangan saya sambil menatap penuh sayang meskipun kulit saya telah keriput dan tak cantik lagi karena dimakan usia? Duh, mendung kayak gini perasaan saya jadi ikutan mellow. Hehehe…
Saya mengenal dengan baik pasangan tersebut. Sebut saja kakek Muja dan nenek Aen. Pasangan yang kerap datang ke puskesmas meskipun hanya untuk sekadar memeriksa tekanan darahnya saja. “Tete, siapa yang sakit?” Tanya saya kepada kakek Muja. Tete adalah sebutan untuk kakek di Maluku. “Tarada, torang cuma mau bakontrol saja. Siapa tahu asam urat su naik lagi.” Saya tersenyum mendengar jawaban kakek Muja.
Saya jadi teringat, beberapa bulan lalu, di hari jumat yang cerah, saat itu kami warga puskesmas baru saja selesai senam pagi dan dilanjutkan dengan kerja bakti membersihkan lingkungan di desa. Masih bau keringat dan belum mandi, tiba-tiba bunyi ambulans memecah keriuhan kami yang tengah bergotong royong mengangkut sampah. Saya menoleh ke sumber suara dan melihat ada dua orang pasien yang digotong masuk ke UGD puskesmas. Saya segera berlari kembali ke puskesmas dan mendapati ternyata kedua pasien tersebut adalah kakek Muja dan nenek Aen.
Setelah melakukan pemeriksaan, ternyata beliau berdua keracunan makanan. Karena kakek Muja sangat ingin makan mie instan akhirnya nenek Aen memasakkan untuk beliau, padahal saya selalu melarang kakek Muja karena beliau selalu menderita gatal-gatal setelah memakan mie instan. Dan ternyata mie instan yang dimasak nenek Aen telah lewat masa berlakunya dan itu artinya selain alergi yang diderita kakek Muja kambuh lagi, beliau juga keracunan makanan. Nenek Aen yang juga memakan sedikit mie instan yang dibuatnya juga jadi ikut keracunan. Untung saja kondisi mereka tak begitu serius, hanya dehidrasi ringan karena muntah dan mencret berkali-kali. Ada kalimat dari kakek Muja yang sampai sekarang membuat saya selalu merasa beliau adalah suami dan pasangan yang sangat baik dan romantis. “Nene terlalu sayang sama tete jadi nene juga ikut sakit, harusnya tadi malam tete tara usah minta bikin mie. Jadi dokter jangan marah ee…”. Sembari berkata begitu, kakek Muja menggenggam tangan nenek Aen yang tidur di bed sebelah yang telah dihimpitkan dengan bednya. Duh, bagaimana saya bisa marah jika melihat kakek Muja yang begitu peduli dan sayang pada istrinya?
Ah, kisah romantis itu bukan seperti romeo dan juliet yang mati bersama. Kisah romantis itu juga tidak harus seperti kisah Dilan dan Milea yang kemudian akhirnya tak bersama. Kisah romantis itu sesederhana sepasang kekasih yang menjadi tua bersama. Sesederhana tangan kakek Muja yang menggenggam tangan nenek Aen sambil memandang penuh cinta pun terlihat jaaaaaauhhh lebih romantis. Sekarang atau lima puluh tahun lagi ku masih akan tetap mencintaimuuuuuuu….. Uwoooowwwwww…….
senangnya bisa membaca kembali tulisan ini. jadi kangen tulisan-tulisan Kiwa. ayo dong menulis lagi..