Supir Ambulans yang Gagal

ambassador_ambulance_by_scarletxero-d5ljjk8

Saya punya kegemaran dan obsesi yang unik. Sejak dulu—saya lupa sejak kapan—sepertinya sejak saya bisa mengemudikan mobil, saya punya keinginan seperti ini : Saya harus bisa mengemudikan semua jenis mobil, mulai dari yang paling kecil, sampai yang paling besar. Hehehe…

Hal ini terbawa hingga sekarang. Mobil paling besar yang pernah saya kemudikan adalah mobil keluaran Toyota, Fortuner. Pernah juga sih saya mengemudikan truk, tapi dalam permainan GTA (Grand Theft Auto)! Hahaha… Kemudian, saya jadi ingin mengendarai ambulans. Bukan sebagai penumpang. Tapi sebagai supirnya. Well, anggaplah saya aneh. Tapi saya tak bisa menghentikan keinginan aneh saya itu. Malah saya berniat mengambil ujian untuk mendapatkan SIM B jika ada kesempatan. Hahaha…

Hingga akhirnya malam itupun tiba. Beberapa hari yang lalu, tepatnya pukul dua belas malam, ada yang menggedor-gedor pintu rumah dinas saya. Saat itu, saya baru saja berganti piyama dan hendak memejamkan mata karena selain saat itu sudah masuk tengah malam, saya juga sudah sangat lelah seharian dibanjiri oleh pasien gawat yang datang berbondong-bondong tiada henti. Namun demi mendengar gedoran pintu yang semakin keras, akhirnya saya mengurungkan niat untuk beristirahat.

Sedikit terhuyung saya mendekati pintu dan membukanya. Tampaklah wajah kakak bidan di Puskesmas tempat saya bekerja.

“Kenapaki kak?” saya bertanya sambil menyipitkan mata. Ah, saya lupa memakai kacamata.

“Ada pasien post-partum* ku pingsan, Dok! Tadi berdarah banyak sekali, sekitar 800 cc, tapi bagusji kontraksinya.”

“Berapa tensinya?”

“100/70, Dok.”

“Oke, tunggu  dua menit.” Usai berujar demikian, sedikit berlari saya lalu masuk ke kamar, mengambil acak gamis yang tergantung dan lalu langsung memakainya tanpa melepas terlebih dahulu piyama yang sudah lebih dulu saya kenakan tadi. Jilbab yang saya pakai pun tidak lagi saya hiraukan apakah warnanya senada dengan gamis yang saya pakai atau tidak. Yang ada di pikiran saya adalah, saya harus segera memeriksa pasien itu secepatnya.

Tergesa-gesa saya menuju pintu keluar dan mulai berlari menuju Puskesmas. Kebetulan rumah dinas saya terletak tepat di halaman belakang Puskesmas. Hanya butuh satu menit berjalan kaki untuk sampai ke sana dan kurang dari sepuluh detik jika dengan berlari seperti yang saya lakukan malam itu. Jalanan yang gelap dan beberapa kuburan di depan rumah—yang jika dihitung jumlahnya lebih dari sepuluh—dan juga pohon mangga besar yang menyeramkan jika malam tiba, tidak lagi saya perhatikan. Bisa dibilang, ini sejenis uji nyali bagi orang yang pertama kali berkunjung ke rumah dinas saya. Hehehe…

Untungnya, saat saya tiba di kamar bersalin, ibu yang pingsan tersebut sudah sadar dan bisa menjawab semua pertanyaan saya dengan baik. Perdarahan yang dialami pasien tidak juga berhenti meskipun telah diberikan pertolongan pertama dan setelah saya lakukan pemeriksaan ini dan itu, saya menduga bahwa sumber perdarahan berasal dari robekan di mulut rahim si ibu tersebut. Akhirnya saya memutuskan untuk merujuk pasien ke rumah sakit. Meskipun rumah sakit terdekat masih berstatus tipe C, tapi setidaknya fasilitas di sana jauh lebih lengkap dan tentu saja terdapat dokter ahli kandungan. Namun, supir ambulans yang bertugas malam itu tak kunjung mengangkat teleponnya setelah dihubungi berkali-kali. Mau tidak mau saya pun berinisiatif untuk menggantikannya.

“Biarmi pale saya yang bawa ambulans kak.”

“Hah? Bisaji ki bawa ambulans kah, Dok?”

“Bisaji. Mobil biasaji toh? Cuma ada alat-alatnya di dalam?” sepertinya ucapan saya tidak meyakinkan, karena bidan yang menemani saya malam itu mengernyitkan keningnya tanda khawatir.

“Tapi di surat tugasnya saya tulis siapa supirnya, Dok? Masa kutulis namata?”

“Nantipi dipikir. Kasihan pasiennya kalau mau menunggu terlalu lama. Masih berdarah teruski. Sekarang di mana kunci ambulans? Biar kupindahkan ke belakang dekat kamar bersalin sekarang.”

Yess! Akhirnya malam ini keinginan saya untuk menjadi supir ambulans bisa terlaksana juga. Begitu pikir saya saat mengeluarkan ambulans puskesmas dari halaman depan Puskesmas. Tapi, baru saja ambulans yang saya kemudikan parkir dengan sukses di halaman belakang, jendelanya diketuk dan muncullah wajah Kak Sul, supir yang bertugas malam itu. “Astaga, ternyata kita’ Dok yang bawa ambulans. Kukira siapa. Turunmi ki, tugasku ini.”

Agak kecewa saya kemudian mematikan mesin mobil dan menyerahkan kunci pada petugas aslinya. “Kita’ sih Kak, lama sekali ndak angkat telepon.” Kak Sul hanya tertawa dan menjelaskan bahwa telepon selulernya tak sengaja diatur dalam mode senyap.

Ya sudahlah. Malam itu saya gagal jadi supir ambulans. Setidaknya pasien saya bisa sampai di rumah sakit dengan selamat dan bisa ditolong secepatnya oleh dokter yang lebih ahli dengan fasilitas yang lebih lengkap. Untuk jadi supir ambulans, mungkin saya bisa mencobanya lain kali.

Semoga saja setelah kalian membaca tulisan geje saya ini, kalian tidak menganggap saya sebagai dokter yang aneh! Hahaha…

 


Catatan Kaki:
*post partum : setelah melahirkan

 

7 thoughts on “Supir Ambulans yang Gagal

Leave a Reply