Bagaimana sih rasanya ditinggalkan oleh dua orang sahabatmu sekaligus dalam waktu yang cukup singkat? Ah, rasanya seperti mimpi saja. Dan sampai sekarangpun aku masih berharap itu semua hanya mimpi buruk. Dan sekarang sudah dua tahun, Ndra. Dua tahun. Dua tahun kau meninggalkan kami semua. Rasanya hal itu baru saja terjadi kemarin. Aku masih ingat dengan jelas, perasaan sesak, gelisah dan sedih ketika tahu kabar buruk yang menimpamu, Ndra. Aku masih bisa membayangkan tawamu yang menggelegar di sepanjang koridor fakultas. Aku masih bisa membayangkan pipimu yang menyembul karena senyum di bibirmu.
Kelompok kita memang luar biasa hipster dan anti-mainstream. Di saat teman-teman yang lain beramai-ramai menghadiri acara pernikahan sahabatnya, kita malah beramai-ramai menghadiri acara pemakaman. Pemakamanmu.
Ah, aku masih ingat, rasanya kami semua ingin punya pintu ke mana saja untuk bisa langsung menemuimu di Aru saat tahu kau jatuh sakit dan harus dirawat di ICU. Aku ingat, Tami yang langsung terbang dari Kendari dengan penerbangan pertama menuju Makassar begitu tahu kau sudah tak ada. Aku ingat, Zul dan Arni yang berinisiatif langsung menemui dekan untuk meminta bantuan dana ataupun transportasi yang bisa digunakan olehmu agar kau dapat dipindahkan segera ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap. Aku ingat, Ilham dan Nani yang menangis tersedu-sedu via telepon tanpa sanggup berkata apa-apa. Aku ingat Ayu yang nekat kabur dari jaga dan siklus koasnya demi bisa menghadiri pemakamanmu di Jakarta.
Aku sama sekali tak menyangka bahwa kau akan jadi orang yang begitu terkenal seantero Nusantara ini. Kalaupun iya, seharusnya kau terkenal karena keahlianmu di bidang kesehatan saja. Jadilah dokter anastesi. Atau bedah. Atau apapun yang kau mau. Aku sama sekali tak menginginkan kau terkenal dengan gelar pahlawan kesehatan yang gugur di medan perang. Apalagi sampai diberi penghargaan sebagai Ksatria Bhakti Husada dari negara—di penghujung hayatmu. Aku, teman-temanmu, sahabat-sahabatmu, keluargamu, tak butuh semua gelar dan penghargaan itu. Yang kami butuhkan adalah kau tetap di sini. Sehat. Hidup.
Namun, Tuhan memang punya rencana lain untukmu. Hingga saat ini, ketika aku sendiri, aku masih selalu berpikir tentangmu. Tentang apa yang kira-kira akan kau lakukan saat ini jika kau masih ada.
Dulu, aku sama sekali tak pernah berpikir untuk bekerja di daerah seperti tempat kerjaku sekarang, Ndra. Listrik yang lebih sering padamnya daripada nyalanya, sinyal telepon yang nyaris tak ada, bahkan akses jalananpun sulit. Pengennya, setelah menyandang predikat dokter, yaaaa pulang ke rumah. Atau jika beruntung yaaa lanjut sekolah lagi. Atau mungkin kita bisa pergi ke Swiss dan makan cokelat sebanyak-banyaknya seperti yang kau inginkan dulu. Tapi, jika teringat kembali percakapan kita sore itu tentang tempat mengabdi, aku merasa telah memilih tempat yang benar. Dan entah setelah ini, kemana lagi kakiku akan melangkah.
Kau gugur, tepat di antara Hari Pahlawan dan Hari Kesehatan Nasional, Ndra. Kau gugur di tempatmu mengabdi. Kami mengenangmu sebagai pahlawan kesehatan. Terima kasih, Ndra. Terima kasih sudah menjadi inspirasi sekian banyak dokter di Indonesia Raya ini. Terima kasih telah menjadi sahabat yang baik. Terima kasih karena telah menjadi anak yang membanggakan bagi ayah dan ibumu. Rindu banget sama kamu. :’)