Berbahagialah kalian para penganut pulang-kampung-saat-puasa-pertama yang bisa menjangkau kampungnya hanya dengan beberapa jam perjalanan darat. Karena sebagai perantau yang kampungnya berada di seberang pulau, pulang kampung dan melakukan ritual puasa pertama bersama keluarga adalah suatu hal yang mewah bagi saya.
Saya tak ingat kapan terakhir kali saya pulang ke rumah hanya untuk bisa sahur dan buka puasa di hari pertama bersama keluarga. Bisa pulang saat lebaran saja saya sudah sangat bersyukur walaupun itu hanya untuk beberapa hari. Rindu? Tentu saja demikian! Namun karena sudah terbiasa, rasa rindu itu jadi tersamarkan.
Namun tahun ini setidaknya saya bisa sahur bersama keluarga meskipun itu bukan bersama papa dan mama, tapi bersama tante, oom dan sepupu yang baru saja ditemukan. Hehehe… Selama ini, ketika ditanya oleh orang yang baru dikenal “Ada keluargata di Makassar?”, sebagai seorang perantau yang tak punya darah bugis ataupun makassar sama sekali, dengan pasti saya akan menjawab “Ndak ada.”. Sayapun baru saja mengetahui bahwa ternyata saya memiliki Tante—sepupu dari papa—yang ternyata menikah dengan orang bugis dan tinggal di Barru (salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan), tempat saya bertugas.
Bulan puasa tahun ini tentu saja berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain karena saya menemukan keluarga baru, ini adalah tahun pertama saya memulai bulan puasa dengan bertugas sebagai seorang dokter di puskesmas. Rasanya memang kurang lengkap tanpa kehadiran orang tua. Apalagi ketika mengingat papa dan mama hanya berdua saja di rumah yang menurut saya bisa menampung belasan orang di dalamnya. Ketiga anaknya masing-masing berada di kota yang berbeda. Saya di Barru, adik saya yang pertama di Makassar, lalu si bungsu di Jakarta. Ah, mengingat hal itu saya jadi sedih. Akhirnya malah kepikiran kalau sudah berkeluarga nanti harus punya anak yang banyak biar tak kesepian di rumah. Hahaha…
Jadi teringat, saking jarangnya saya berada di rumah sejak SMA (ini dikarenakan saya bersekolah di boarding school), para tetangga berpikir kalau keluarga saya hanya memiki dua orang anak. Ketika bulan ramadan tiba dan saya pulang ke rumah lalu ikut tarawih, hal yang paling sering mama lakukan adalah mengenalkan saya kepada para tetangga yang ingin tahu siapa anak gadis yang selalu menemani ke masjid, dan itu masih terjadi hingga sekarang.
Hal yang paling saya rindukan ketika pulang kampung adalah masakan mama. Mama mungkin bukanlah tipe ibu rumah tangga yang selalu memasak untuk keluarganya setiap hari. Ini mungkin karena mama juga sibuk bekerja. Namun, tiap kali saya pulang, beliau pasti selalu menyempatkan diri untuk memasakkan makanan kesukaan saya. Saya rindu dengan diskusi-diskusi kecil mengenai politik dalam negeri bersama papa selepas salat tarawih sembari mencicipi kue yang mama siapkan untuk kami, lalu mama akan bergabung dalam diskusi kami dan memberikan komentar-komentar yang berbeda dengan apa yang kami bicarakan. Saya rindu bertemu dengan adik bungsu saya yang hanya bisa saya temui setahun sekali dan kemudian terkaget-kaget karena tinggi tubuhnya yang bisa bertambah hingga sepuluh sentimeter dalam waktu setahun. Saya rindu melihat kedua adik saya yang selalu bertengkar karena hal konyol dan kemudian akan berhenti setelah saya omeli. Saya rindu suasana riuh Ramadan di rumah.
Saya rindu rumah.
Dan tentu saja kalian yang juga sedang jauh dari rumah merasakan hal yang sama.
Tetap semangat wahai para perantau! Karena dibalik rasa rindumu, tentu saja rumah tempatmu kembali akan menyambutmu hangat ketika kau pulang. Selamat menjalankan ibadah puasa guys!
Wahhh syukakkkk
hmmm…sama kak…bukan hanya kakak yg rindu…