“Sudahma ke tukang urut kemarin dok. Kukasih lihatmi juga foto ronsen tulangku.” Saya mengerutkan dahi berpikir, berusaha mencerna kalimat yang dilontarkan pasien saya.
“Maksudnya tukang urutnya ibu yang nyuruh ibu untuk foto ronsen?”
“Iya dok.”
“Terus ibu ke sini mau apa?”
“Ini dok, mauka minta obat saja. Masih sakit tulang belakangku. Katanya tukang urutku, patahki.”
“Wah, kalau patah harus dioperasi, Bu. Mana hasil fotonya? Saya mau lihat.”
“Ndak kubawa dok. Sudahmi na urut tulangku. Katanya bagusmi, jadi mauka minta obat saja.”
Masih jelas di ingatan, siang itu seperti biasa saya masih bertugas di Puskesmas. Masih pukul dua belas lebih sedikit. Kondisi saat itu sangat panas. Hanya ada kipas angin tua yang berputar mengalirkan udara yang sama panasnya dengan sekitar ruangan. Maklum, puskesmas tempat saya bertugas berada tepat di pinggir laut. Sudah tentu di musim kemarau ini udara terasa sangat kering.
Sudah ada puluhan pasien yang masuk ke ruangan saya untuk berobat. Pasien terakhir siang itu adalah seorang ibu berusia paruh baya yang mengenakan setelan gamis berwarna salem berjalan masuk ke ruangan saya sambil tertatih dan sesekali memegangi punggungnya. Seketika sayapun berdiri dan membantu ibu tersebut untuk duduk di kursi. Setelah bertanya apa keluhan ibu tersebut, akhirnya saya tahu bahwa beliau baru saja terjatuh dari sepeda motor beberapa hari yang lalu dan kemudian muncullah percakapan di atas. Entahlah saat itu saya ingin tertawa atau prihatin.
Dari hasil anamnesis* saya mendapatkan informasi bahwa ia telah diobati oleh tukang urut dan katanya tulang belakangnya patah. Jika informasi itu benar, sudah pasti pasien saya tersebut saat itu akan mengalami gangguan fungsi saraf. Jangankan berjalan, berdiripun pasti ia kesulitan.
Budaya masyarakat Indonesia yang lebih memilih ke tukang urut dibandingkan ke dokter memang tak dapat kita larang-larang. Namun sebagai orang yang bekerja sebagai tenaga medis, sudah seharusnya saya memberikan edukasi yang tepat. Memang, tidak semua patah tulang harus disembuhkan dengan operasi, namun, mempercayakan tulang yang patah pada tukang urut atau sangkal putung tidak saya anjurkan. Hebat sekali jika seorang tukang urut bisa membaca hasil foto xray tulang belakang di saat mahasiswa kedokteran yang telah mempelajarinya dalam kurun waktu beberapa bulan masih saja salah ketika diuji oleh dosennya. Yah, kecuali tukang urut tersebut juga pernah belajar membaca foto xray. Tapi apakah tukang urut yang bisa membaca foto xray banyak jumlahnya? Hmm… saya tak begitu yakin. Namun, lebih hebatnya lagi, masih banyak masyarakat yang lebih mempercayai tukang urutnya dibandingkan dokternya. Sebagai contoh kasus nyata lainnya, ada seorang ibu yang setelah di USG dianjurkan untuk melahirkan dengan cara dioperasi, namun yang mengejutkan ibu tersebut justru mengatakan, “Kutanya dulu sanroku* dok.”
Saya pikir, hal seperti kejadian di atas hanyalah fiksi belaka. Bualan teman-teman sejawat saya yang bertugas di daerah. Tapi setelah saya mengalaminya sendiri, saya jadi turut prihatin. Perlu diketahui bahwa, menyambungkan tulang yang patah tidak boleh dilakukan asal-asalan. Tulang yang patah harus disambung dan dikembalikan ke posisinya semula sesuai dengan letak anatomisnya tanpa adanya pembengkokan atau pemendekan jika dibandingkan dengan kondisi bagian tubuh yang sehat lainnya. Jika terjadi kesalahan dalam proses penyambungan, bisa saja akan mengakibatkan saraf terjepit yang menyebabkan anggota badan yang patah merasakan keram, kesakitan atau bahkan tak bisa digerakkan. Untuk kasus yang parah, infeksi bisa saja terjadi dan berakhir dengan kecacatan.
Saat masih koas dulu, tidak sedikit saya mendapati pasien yang akhirnya berobat ke dokter dengan komplikasi setelah ditangani oleh tukang urut. Hasilnya? Untuk yang beruntung, anggota tubuh yang patah tersebut masih bisa berfungsi dengan normal. Jika tidak, maka harus mengikhlaskannya untuk diamputasi.
Kembali ke cerita di atas, akhirnya saya hanya bisa memberikan obat anti nyeri kepada ibu tersebut dan memberitahukan untuk kembali lagi jika tak ada perubahan atau kondisinya semakin parah. Apa boleh buat? Bahkan setelah saya berikan penjelasan mengenai kondisinya dan meminta pasien tersebut untuk membawa foto tulang belakangnya kepada saya, dia tetap bersikeras tak mau dan lebih mempercayai tukang urutnya.
Saya bukannya anti kepada pengobatan alternatif. Tentu saja ada beberapa penyakit yang bisa disembuhkan dengan pengobatan alternatif. Namun untuk kasus seperti ini, sebaiknya pikirkanlah baik-baik apakah kamu lebih memilih untuk diobati oleh tukang urut/sangkal putung ataukah ke dokter. Jangan sampai keputusan yang kamu ambil justru menimbulkan penyesalan di kemudian hari.