Masih Mengenangmu; dr. Dionisius Giri Samodra

12241252_1062158190475558_2459256631029157070_n

Hai, apa kabarmu di sana, Ndra? Ah, ini pertanyaan yang sangat klasik untuk memulai sebuah surat. Kau tahu? Aku sudah tak pernah lagi menulis surat untuk seseorang sejak duduk di bangku sekolah dasar dulu. Itupun karena ditugaskan untuk memiliki seorang sahabat pena. Aku menulis ini karena aku tak tahu bagaimana lagi cara menggapaimu, meraihmu, berkomunikasi denganmu, selain dalam tiap doa yang kupanjatkan untuk dirimu.

Aku sangat ingin untuk bisa mengatakan, bahwa tak terasa sudah satu bulan lamanya kau pergi meninggalkan kami dan tak mungkin kembali lagi. Namun, nyatanya tak demikian. Waktu terasa begitu lambat berlalu. Tiap detik yang kuhabiskan ketika mengingatmu sungguh teramat menyiksa. Dan aku yakin, itupun dirasakan oleh sahabat-sahabatmu yang lain, yang juga mencintaimu.

Ndra, aku kembali menangis. Aku yakin, ketika kau melihatku menangis yang akan kau lakukan adalah menertawakanku terlebih dahulu dengan suaramu yang menggelegar sebelum akhirnya menanyakan mengapa aku menangis. Tentu saja demikian. Kau pasti bingung, seorang Kiky yang dijuluki ‘si wanita batu’ tengah menangis tersedu. Bahkan ketika mendapatkan penguji yang prognosisnya buruk saja aku masih bisa tertawa dan berpikiran positif. Sepanjang kau mengenalku, aku tak pernah meneteskan air mata. Untuk apapun. Yah, kecuali saat aku patah hati dulu. Dan aku bersyukur kau tak melihatnya, karena aku tak tahan mempermalukan diriku karena hal remeh seperti itu dengan mendengar tawamu.

Hei, aku sangat senang orang lain mengenalmu melalui tulisanku. Mereka jadi tahu kau orang yang seperti apa. Padahal, aku hanya menulis apapun yang kuingat tentangmu. Mereka bilang kau orang yang sangat baik. Tentu saja! Kau bahkan tak pernah marah. Satu-satunya saat kau meninggikan volume suaramu adalah ketika kau tertawa. Hanya itu. Bahkan, Tami menyebutmu bully-able alias gampang dibully. Hahaha… Aduh, kenapa membayangkan hal lucu seperti itu tetap meneteskan air mataku? Ah, sepertinya aku jadi wanita cengeng, Ndra. Sepertinya aku bukan lagi ‘si wanita batu’ sejak kau pergi.

Kau tahu, Ndra? Aku telah memulai masa magangku sebagai dokter internsip. Ah, kau pasti tahu itu. Karena seperti biasa, kau akan meneleponku, mengucapkan selamat, bertanya mengenai keadaan sekitarku, mengenai rumah sakit yang kutempati bekerja, mengenai hari pertamaku bekerja dan segalanya. Tapi, kau tak mampu lagi melakukan itu. Aku bahkan telah menarasikan akan seperti apa percakapanku denganmu jika kau meneleponku. Dengan dialek Jakarta yang bercampur dengan dialek Makassar, kau akan mengatakan, “Halooooo Kyong… Tawwah yang sudahmi internsip. Bagaimanami  hari pertamamu? Asikji?”. Membayangkannya membuat aliran bening di mataku kembali hadir. Aku menangis tersedu hingga teman-teman internsipku yang lain bingung melihatku. Tapi aku tak peduli. Aku terus saja menangis. Betapa aku rindu dengan suaramu, Ndra. Pada segala perhatianmu. Kau selalu memperhatikan semua sahabat-sahabatmu, sekecil apapun itu.

Aku ingat, Zul yang selalu memilih untuk curhat padamu dibandingkan denganku. Karena kau tak pernah menyalahkannya dan selalu menjadi pendengar yang baik. Berbeda denganku yang suka berkomentar seenaknya tanpa kupikir terlebih dahulu. Aku ingat, kau yang selalu bertengkar dengan Arny, meskipun kami semua tahu, kalian berdua lebih cocok menjadi sepasang kekasih. Aku juga ingat, kau yang kabur sesaat dari jadwal jagamu di UGD demi bisa memberikan kue untuk Fatma yang berulangtahun. Aku juga ingat, kau yang selalu mengatakan bahwa Tami lebih baik menyanyi saja dan jangan bicara, karena suaranya jauh lebih bagus jika menyanyi dibandingkan jika ia berbicara. Terlalu cepat hingga orang lain tak paham. Hahaha… Aku ingat, kau sering memanggil Nani ‘si kecil’ sambil menepuk kepalanya ringan dan kemudian akan disambut dengan omelan. Aku pun ingat, kau yang selalu berbeda pendapat dengan Ilham dan akhirnya ngambek-ngambekan, walaupun kemudian akan berbaikan kembali dalam waktu singkat. Lalu, aku juga ingat, kau yang selalu memanggil Ayu dengan sebutan Bunda, tempatmu mengadu, tempatmu berkeluh kesah. Karena kau tahu, jika kau menceritakan masalahmu pada yang lain, yang akan kami lakukan hanyalah menanggapimu sambil berlalu atau mengolokmu dan menertawakanmu. Tapi kau pasti tahu itu hanya bercanda kan, Ndra?

Oh iya, tahukah kau bahwa kami telah bertemu dengan sahabatmu sejak kecil? Yang selalu kau ceritakan? Kau harus melihat reaksi sahabat-sahabatmu yang lain. Sungguh memalukan! Hahaha… Tak perlu diceritakan di sini, karena aku pun malu jika dia membaca tulisan ini. Hehehe…

Kau ternyata sungguh orang yang baik ya, Ndra. Aku harus mengakuinya. Aku sangat kaget ketika ada seorang temanmu yang datang jauh-jauh dari Medan hanya untuk mengikuti pemakamanmu. Padahal ia mengatakan bahwa kalian baru saja berteman. Itupun hanya bertemu beberapa kali saat dia masih bekerja di Makassar dulu. Melihatnya di rumah duka malam itu membuatku sadar, masih ada banyak hal yang tak aku ketahui tentang dirimu. Aku ingin menangis. Menangis karena bahagia. Ternyata ada banyak sekali orang yang menyayangimu. Mencintaimu. Dan lagi-lagi aku ingin mengatakannya, semoga saja kau tahu itu tanpa perlu kami ucapkan. Karena mengucapkannya sekarang, sungguh sudah sangat terlambat.

Penyesalan memang selalu muncul belakangan. Ketika kuucapkan namamu ditiap-tiap sujud malamku, yang hadir hanya aliran bening air dari mata dan sesak di dada. Semoga saja yang turut membaca surat ini tak mengalami apa yang kami—sahabat-sahabatmu—alami. Semoga saja mereka sadar, bahwa rasa sayang dan rindu itu harus diungkapkan. Jangan sampai karena mereka merasa bahwa masih ada banyak waktu, masih ada banyak kesempatan, mereka akhirnya lalai dan mengabaikan rasa itu. Karena ketika seseorang yang kita sayangi benar-benar tak ada lagi untuk selamanya, percayalah, itu akan terasa sangat berat, hingga ketika  kau ingat kembali, kau tak mampu untuk menahan beratnya.

Ndra, aku tak tahu jika menurutmu ini lucu atau tidak. Tapi menurutku ini lucu. Sekarang, sungguh sangat mudah untuk berkumpul dengan yang lainnya. Cukup mengucapkan namamu dan mereka pun langsung buru-buru mengiakan. Tak ingin melewatkan satupun kesempatan untuk bertemu. Untuk bercengkerama. Kau ingat? Dulu, untuk berkumpul lengkap dengan sahabat-sahabatmu bisa menjadi suatu kejadian yang langka. Pasti ada saja yang berhalangan hadir. Contohnya saja malam sebelum kau berangkat ke Aru. Aku yang saat itu rela naik angkot malam-malam demi bertemu dirimu, akhirnya hanya bisa mendesah jengkel karena yang lain tak bisa datang dengan berbagai macam alasan.

Ah, sepertinya aku sudah terlalu semangat menulis untukmu. Pokoknya, aku harap kau tetap tersenyum di sana. Seperti yang biasanya kau lakukan. Aku tak tahu sekarang kau ada di mana. Tapi aku selalu berharap yang terbaik untukmu. Jangan lupakan kami, karena kami tak akan pernah bisa melupakanmu, kecuali Tuhan berkehendak untuk menghapusmu dari ingatan kami. Dan aku berdoa, semoga itu tak terjadi. See you when we see you again, Ndra!

 

Makassar, 11 Desember 2015

Leave a Reply