Terlambat Mengenal Kampung Halaman Sendiri

 

35a3a6a

Seberapa kenalkah kamu dengan kampung halamanmu? Sangat tahu? Atau sekadar tahu? Dalam pikiran saya, kampung halaman adalah tempat orang tua saya tinggal dan bekerja saat ini. Terkadang saya bingung mau menjawab apa ketika ada yang menanyakan di mana kampung saya. Mau menjawab di Papua—karena saya lahir dan besar di sana—tapi orang-orang tak ada yang percaya dan sudah pasti saya bukan orang asli sana. Mau menjawab Ambon—karena itu adalah kampung papa—tapi saya sama sekali tak tahu apa-apa tentang Ambon. Saya jadi malu sendiri jika ditanya mengenai kampung halaman saya. Saya malu, karena merasa gagal mengenal kampung saya sendiri. Bahkan orang lain justru lebih mengenal seluk beluk kampung saya.

Terakhir berkunjung ke sana sudah hampir setahun yang lalu. Bulan Agustus tepatnya. Akhirnya saya menginjakkan kaki lagi di kota kelahiran papa setelah hampir sepuluh tahun lamanya. Itupun karena almarhumah nenek tengah sakit keras saat itu. Astaga, saya mungkin perantau dan cucu yang tidak tahu diri. Tapi mau bagaimana lagi? Saya memang tidak dibesarkan dengan mengenal kampung halaman sendiri. Saya bahkan lebih lancar berbahasa inggris atau jepang dibandingkan dengan bahasa daerah saya. Berbicara dengan menggunakan dialeknya pun membuat lidah saya kelu karena tak biasa. Ah, saya menyesal tak mengenal dengan baik kampung saya. Namun, saya lebih menyesal lagi tak mengenal baik nenek saya.

Saya jadi ingat setahun lalu saat saya datang berkunjung ke kampung, nenek sempat berbisik dengan suara lirih, “Kalau Kiky su kerja, nanti kirim nene pung uang barang sepuluh ribu begitu kahNene su bisa mati kalau su rasa nene pung cucu pung gaji jua.” Seketika air mata saya menitik. Awalnya hanya berupa gerimis kecil, namun perlahan saya jadi terisak-isak. Saya jadi sadar, selama ini saya jarang berkomunikasi dengan nenek. Saya jadi sadar, saya bahkan tak pernah berusaha berbuat sesuatu untuk nenek. Bahkan saat nenek menghembuskan napas terakhirnya, saya tak dapat ke sana untuk mengantar beliau ke tempat peristrirahatannya yang terakhir.

Yang saya tahu tentang kampung saya, adalah sebuah desa kecil bernama Rutah di Kepulauan Seram. Untuk sampai di sana, saya harus mengendarai mobil selama satu jam dari bandara Kota Ambon, lalu menempuh perjalanan laut selama kurang lebih dua jam menggunakan kapal cepat dari Tulehu menuju Amahai. Sesampainya di Amahai, saya masih harus menempuh perjalanan darat selama tiga puluh menit lagi. Yang saya ingat, selama tiga puluh menit perjalanan itu, pantai dan gunung tak pernah lepas dari jarak pandang saya. Melihat ke arah timur ada hijaunya gunung, ke arah barat ada birunya laut. Sungguh indah.

Yang saya ingat, kampung saya adalah tempat saya belajar berenang hampir dua puluh tahun silam, menyelam bersama lumba-lumba yang tak saya temui sekarang. Yang saya ingat, kampung saya adalah tempat yang dikelilingi pantai dengan pasir hitam lembut, tempat saya bermain bersama sepupu-sepupu saya sambil menyantap buah gandaria yang terasa asam sekaligus manis di lidah. Yang saya ingat, kampung saya, adalah tempat saya bermanja-manja dengan almarhumah nenek, berjalan kaki hingga ke kampung sebelah, hingga menemani beliau berkebun di kebun pala dan cengkih milik keluarga. Hanya sebatas itu.

Saya tak tahu bahwa di sekitar kampung saya ada yang bernama Pantai Ora. Saya tak tahu bahwa ada banyak tempat menakjubkan di sana yang membuat para wisatawan lokal dan bahkan asing berlomba-lomba untuk mengunjunginya. Saya tak tahu jika di pelabuhan Tulehu masih banyak ikan yang berenang di dermaga. Bahkan saya tak tahu jika Tulehu diberi julukan sebagai Kampung Sepak Bola.

Beruntunglah kamu yang mengenal dengan baik kampung halamanmu. Kamu dapat menceritakannya dengan bangga tanpa merasa bingung apa yang harus kamu ceritakan.

Jika waktu dapat diputar kembali, ingin rasanya saya menghabiskan waktu lebih banyak lagi di kampung halaman saya—di kampung papa. Di kampung tempat almarhumah nenek tinggal. Ah, jelas itu hanya sebatas mimpi, karena waktu tak mungkin dapat kembali. Namun, mimpi tetap bisa jadi kenyataan kan? Sekarang saya masih bermimpi. Saya masih tak mengenal dengan baik seperti apa kampung halaman saya yang ternyata merupakan tempat impian para wisatawan dari berbagai penjuru negeri. Namun, saya tak akan pernah lupa dari mana saya berasal. 🙂

Leave a Reply