Karena Kegagalan adalah Keberhasilan yang Tertunda

malcolm_forbes

Anak kecil yang ditanya mengenai cita-citanya biasanya akan menjawab dengan spontan “Aku ingin jadi dokter!”. Padahal, kebanyakan dari mereka justru takut dengan manusia berjas putih itu kan? Saya sendiri heran, mengapa sejak kecil—tepatnya sejak saya duduk di bangku taman kanak-kanak, saya telah memutuskan untuk menjadi seorang dokter. Orang tua saya tak pernah memaksa saya untuk menjadi dokter. Mereka bahkan tidak pernah menyuruh saya untuk belajar. Mungkin karena saya selalu melakukannya tanpa mereka suruh. Karena saya sadar, gagal tak boleh ada dalam kamus hidup saya untuk bisa menjadi seorang dokter. Namun, dunia setelah lulus SMA ternyata hampir membuat saya putus asa karena kegagalan.

Sebelum Ujian Nasional SMA dimulai, saya telah mengirimkan berkas di mana-mana untuk menjadi mahasiswa kedokteran. Pun setelah UN berakhir, saya masih melakukannya. Bermodal nilai tiap semester yang bagus, piagam-piagam olimpiade yang dipajang di rumah, juga nilai TOEFL yang di atas standar, saya pikir itu semua bisa membuat jalan saya mulus untuk masuk di fakultas kedokteran. Namun, hingga hari pengumuman tiba, tak ada satupun berkas saya yang diterima. Saya gagal. Dan itu membuat saya hampir frustrasi. Padahal kan, itu hanya masalah kecil. Masih ada banyak jalan menuju Roma.

Lalu, saya mengikuti tes beasiswa yang diadakan oleh Bapak Yohanes Surya. Hasilnya? Saya lulus! Namun sayang, karena saya bukan putra daerah asli Papua, akhirnya beasiswa itu dibatalkan. Kenyataan yang membuat saya kecewa dan hampir saja enggan untuk mengikuti tes apapun lagi.

Tapi, kemudian saya mengikuti ujian SIMAK UI yang diadakan di kota tempat saya tinggal dulu. Ah, lagi-lagi saya gagal. Saya jadi mempertanyakan kapasitas otak saya. Apakah sel-selnya sudah mengalami nekrosis? Harapan saya semakin surut, ketika saya lagi-lagi gagal saat mengikuti tes untuk masuk di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. Universitas impian saya. Ah, kenapa mau menjadi mahasiswa saja rasanya sulit sekali?

Saat semangat saya sudah hampir mencapai titik terbawah, Mama menyarankan untuk mengikuti bimbingan belajar di Makassar sebagai bekal untuk mengikuti SNMPTN nanti. Lagipula, jika tak lulus di perguruan tinggi negeri, masih banyak perguruan tinggi swasta yang tidak kalah bagus kan? Oh iya, saya punya cerita lucu saat pertama kali datang ke Kota Daeng ini. Ceritanya bisa dibaca di sini.

Bisa dibilang, lulus SNMPTN adalah harapan terakhir saya. Saya tidak berniat melanjutkan kuliah jika gagal lagi. Itu adalah pemikiran pendek dari seorang anak yang masih labil. Jika kembali mengingat saya pernah berpikir seperti itu, rasanya saya ingin membenturkan kepala saya ke tembok agar bisa melupakan pemikiran yang memalukan itu. Hehehe…

Sehari sebelum pengumuman SNMPTN, Papa dan Mama datang ke Makassar. Mungkin mereka takut, putri sulung yang mereka banggakan akan mati bunuh diri sambil menceburkan diri di Pantai Losari karena tak lulus SNMPTN. Hahaha….

Nah, saat malam menjelang pengumuman, tepat tujuh tahun lalu, saya tengah berjalan-jalan bersama Papa dan Mama sambil menunggu pengumuman SNMPTN pukul dua belas malam. Namun, baru saja pukul delapan, ada pesan singkat dari seorang teman yang masuk di telepon genggam saya “Ky, lulus gak?”. Dengan cepat saya membalas “Belum. Besok kan baru diumumin?”. Tak sampai semenit, telepon genggam saya kembali bergetar “Udah bisa dilihat kok.” Dan kemudian gantian jantung saya yang bergetar. Saya jadi deg-degan tak karuan.

Belum sempat ngapa-ngapain, eh ada lagi teman yang menelepon menanyakan hal yang sama. Bertambah deg-degan lah saya. Selang beberapa detik, telepon genggam saya berdering kembali, dari orang yang berbeda, mengabarkan jika ia lulus. Rasanya kaki saya jadi semakin lemas dan lunglai karena gugup.

Tepat di depan Pantai Losari, ternyata ada yang berjualan Identitas (koran yang diterbitkan oleh lembaga pers mahasiswa di Universitas Hasanuddin) yang juga menerbitkan pengumuman kelulusan SNMPTN. Akhirnya koran itu dibeli oleh Papa dengan harga dua puluh ribu rupiah, padahal normalnya dibagikan gratis di kampus. Dengan bermodalkan senter dari telepon genggam, saya mulai mencari nama saya di dalam mobil. Saya lupa nomor peserta saya, jadinya saya mencarinya satu demi satu. Ribet. Jadi, saya membagi tugas dengan Papa, saya mencari di lembar bagian depan, Papa mencari di bagian belakang. Baru membaca beberapa baris, saya menemukan beberapa nama yang saya kenal. Semakin ciutlah hati saya karena tak kunjung menemukan nama saya. Dilembar yang Papa pegang pun tak ada.

Karena merasa Papa tak becus mencari, akhirnya saya pun mengambil lembar yang dipegang Papa dan mulai mencari lagi. Dan lagi-lagi saya menemukan beberapa nama yang saya kenal. Saya mulai putus asa. Gemetar dan dingin di sekujur tubuh. Rasanya ingin menangis saja.

Di tengah rasa sedih dan kecewa, tiba-tiba mata saya menangkap satu baris nama yang tertera di dekat kolom paling akhir. RIZKY AMALIA WAKANO. Rasanya saya akan pingsan saat itu juga! Antara senang dan bingung. Bingung karena saya tak ingat kode jurusan yang saya pilih. Saya masih tak tahu apakah saya diterima di Unair atau Unhas. Saya berteriak kegirangan, tanpa sadar berjingkrak dari kursi mobil hingga kepala saya terbentur langit-langitnya. Tapi anehnya, saya sama sekali tak merasa kesakitan. Saya hanya meringis kecil dan memegang erat kertas pengumuman itu. Tangan saya bergetar hebat. Rasanya dada saya sesak karena bahagia.

Dengan harap-harap cemas, saya lalu meminta Papa  segera pulang untuk melihat daftar kode jurusan di buku panduan SNMPTN. Begitu sampai di rumah, segera saya mencari di mana buku kuning itu saya letakkan. Dan ternyata, kode 821072 adalah kode untuk jurusan Pendidikan Dokter Universitas Hasanuddin! Bisa ditebak kelanjutannya? Saya tak bisa tidur hingga pagi menjelang. Rasanya seluruh adrenalin di tubuh saya diproduksi dalam jumlah yang besar setelah satu bulan penantian penuh kecemasan.

Gagal berkali-kali? Ah, itu hal yang wajar. Saya tak akan pernah bisa mempelajari apa arti dari sebuah usaha jika tak pernah mengalami kegagalan. Kegagalan membuat saya menjadi lebih dewasa dan menyadari bahwa ada banyak jalan yang bisa ditempuh untuk mencapai apa yang kita inginkan. Karena, benar apa kata pepatah. Kegagalan itu adalah keberhasilan yang tertunda!

3 thoughts on “Karena Kegagalan adalah Keberhasilan yang Tertunda

Leave a Reply