Dokter di Pulau; Akibat Ambulans Mogok

Tim Puskesmas Keliling

Sudah seminggu ini cuaca di Desa Wayabula tidak bersahabat. Baru juga cerah tiga puluh menit yang lalu, tak berapa lama kemudian sudah mendung kembali dan hujan turun dengan deras. Sudah masuk musim hujan lagi ternyata. Padahal setahu saya, musim hujan kan biasanya di akhir tahun ya? Ah, entahlah. Pokoknya, karena cuaca yang tak menentu itu, akibatnya jadwal pusling—puskesmas keliling—harus tertunda berkali-kali.

Wilayah kerja puskesmas saya terdiri dari tujuh desa. Yaitu Desa Wayabula, Desa Bobula, Desa Tutuhu, Desa Raja, Desa Cio Gerong, Desa Cio Maloleo, dan Desa Cio Dalam. Untuk melakukan pusling di desa lain, butuh cuaca cerah yang mendukung, karena ada beberapa desa yang sulit untuk dijangkau seperti tiga desa dengan sebutan Cio yang saya sebutkan di atas. Untuk sampai ke sana bahkan harus berjalan kaki melewati hutan (jika beruntung bisa menaiki sepeda motor) dan juga basah-basahan karena harus melewati sungai tanpa jembatan. Bisa dibayangkan kan, bagaimana caranya kami melewati sungai jika arusnya deras karena hujan yang tak kunjung berhenti? Kalaupun ada perahu yang bisa menampung kami, saya tak yakin perahu itu bisa menyeberang melawan arus.

Akhirnya, diputuskanlah untuk melakukan pusling di desa terdekat saja. Desa Raja dan Desa Tutuhu.

Sejak pagi, kami—tim pusling—yang terdiri dari beberapa orang perawat, seorang apoteker, seorang dokter gigi dan juga saya, telah mengecek persiapan alat dan obat-obatan yang akan kami bawa. Setelah yakin tak ada yang tertinggal, kamipun berangkat dengan menggunakan ambulans. Baru juga jalan beberapa meter, ambulans kami sudah mogok. “Kak, kok mogok sih?” Saya bertanya pada Kak Samsir, pegawai puskesmas yang hari itu bertugas sebagai supir. “Iya, Dok. Tara tau juga. Barusan ini kayak begini.” Dan untungnya, tak berapa lama kemudian ambulans kami bisa jalan lagi.

Baru juga lima belas menit berlalu, tepat di tengah hutan sebelum menyeberangi jembatan yang terbuat dari jejeran batang-batang pohon, kami semua disuruh turun dari ambulans. Kata Kak Samsir, ia takut ambulans tak dapat melewati jembatan dan ambulans bisa tergelincir kapan saja karena licin. Yah, mau tidak mau akhirnya kami semua turun dong dari ambulans.

Melewati jembatan selanjutnya, lagi-lagi kami disuruh turun oleh supir. Ternyata, filter solarnya bocor, bahan bakarpun terbuang percuma dan akibatnya ambulans harus mogok. Dalam hati, saya mulai panik. Hari ini seharusnya kami melakukan pusling di dua desa, namun jika begini keadaannya, bagaimana cara untuk sampai di satu desa saja masih harus dipertanyakan. Kak Samsir dan beberapa pegawai lelaki puskesmas yang lain masih berusaha untuk memperbaiki ambulans, meskipun itu tampaknya mustahil terjadi dalam waktu singkat dengan kondisi kami yang tak punya alat dan solarpun habis terbuang.

Akhirnya, setelah menunggu selama hampir satu jam, Kak Hamid—perawat sekaligus penanggung jawab pusling—memutuskan untuk meminta tumpangan pada setiap kendaraan yang lewat. Namun sayangnya, semua yang lewat sudah penuh dengan penumpang. Mau menelpon meminta bantuan pada orang-orang di Puskesmas, namun ambulans kami mogok di daerah yang tak ada sinyal sama sekali. Tak ada harapan.

Setelah menunggu lagi selama beberapa saat sambil memikirkan bagaimana cara kami sampai ke desa terdekat, muncullah penyelamat. Dua orang lelaki separuh baya yang mengendarai mobil pick up pengangkut sapi. “Mogok kah? Apa yang rusak?” tanya bapak yang mengendarai mobil tersebut setelah berhasil menepikan mobilnya dan menghampiri kami. “Filternya bocor.” Jawab Kak Samsir. “Wah, harus diganti itu. Mau ke mana kong?” Kak Hamid pun menjelaskan bahwa kami hendak menuju Desa Raja untuk melakukan pemeriksaan kesehatan gratis.

And unexpectedly, si bapak tersebut menawarkan untuk mengantar kami ke sana—dengan menggunakan mobil pengangkut sapi itu tentu saja. Saya dan Nurul—dokter gigi di puskesmas saya bertugas—saling bertatapan. Antara senang karena akhirnya mendapatkan tumpangan dan juga ragu karena bagian belakang mobil itu sungguh mengeluarkan aroma yang cukup memabukkan. Hehehe… Namun, kami semua tak ada dalam posisi bisa memilih. Mendapatkan tawaran tumpangan gratis saja sudah syukur Alhamdulillah. Akhirnya, kamipun mulai memindahkan semua peralatan dan obat-obatan ke mobil itu dan mulai naik satu per satu.

Bau menyengatpun segera menyerbu indera penciuman saya begitu menginjakkan kaki di bagian belakang mobil itu. Saya menguat-nguatkan diri agar tidak muntah. Yang ada di pikiran saya, semoga saja selama dua puluh menit ke depan tidak membuat kami semua jadi berbau seperti kotoran sapi. Gak lucu kan saat lagi meriksa pasien terus pasiennya bilang, “Kok, dokter bau sapi sih?”. Hahaha…

Masih sempat selfie. Hahaha…

“Latihan yuk!” Tiba-tiba Kak Vivi berseru. Kami semua menatapnya bingung. Latihan apaan sih? “Semuanya bilang Moooooo….” Lanjut Kak Vivi sambil menirukan suara sapi. Seketika kami semua terbahak hingga hampir jatuh terjerembab di lantai. Astaga, memangnya kami ini sekumpulan sapi yang lagi dibawa pulang? Hahaha…
Ah, peduli amat jika nanti bau kami jadi bau sapi—meskipun kenyataannya seluruh tubuh saya benar-benar jadi berbau tak sedap—yang penting pusling kami berjalan dengan lancar, yah meskipun telat dua jam dari jadwal dan hanya satu desa yang sempat kami datangi.

Ini adalah pengalaman yang seru sekaligus menyenangkan untuk saya. Tapi semoga saja jangan lagi terulang. Hehehe…

Dan selanjutnya, saya masih menantikan pusling di desa lain yang jauh lebih sulit untuk dijangkau. Dan hal itu baru bisa dilakukan jika cuaca kembali cerah.

Nantikan cerita saya selanjutnya ya guys! Semoga saja saya bisa dapat jaringan internet lagi dan bisa update tulisan lagi secepatnya.

Karena mengabdi tak pernah semenyenangkan ini jika kau melakukannya dari hati.

Leave a Reply