Dialek Makassar yang Bikin Salah Paham

Mau ke manaki?”, agak kaget saya menoleh dan memandang nenek tersebut. Wajahnya tak familiar. Setelah terdiam cukup lama, akhirnya saya pun menjawab pertanyaannya dengan terbata-bata.

Ini pengalaman saya beberapa tahun yang lalu. Tepatnya saat pertama kali menginjakkan kaki di Makassar. Oke, mungkin itu bukan yang pertama kalinya. Tapi biasanya saya ke kota ini hanya untuk sekedar transit ketika ingin mengunjungi nenek di Bandung sana.

Mungkin beberapa teman sudah tahu hal apa yang ingin saya ceritakan di tulisan ini ketika membaca kutipan percakapan di atas. Ya, saya sudah sangat sering menceritakan pengalaman saya ini dan setiap mengingatnya selalu membuat saya tertawa dan merasa geli sendiri.

Sebagai pembuka, biar saya jelaskan dulu mengapa saya bisa sampai ke Kota Daeng ini. Saya lahir dan besar di Papua. Dan karena pekerjaan orang tua, saya selalu berpindah-pindah dan tidak menetap di suatu daerah tertentu. Akhirnya ketika SMA saya masuk di boarding school dan tinggal terpisah dari orang tua. Yah, mungkin itu salah satu jalan agar saya tidak pindah ke sana ke mari lagi. Saat lulus SMA, saya pun berencana untuk melanjutkan pendidikan di luar Papua. Sebenarnya bukan Makassar kota utama tujuan saya. Tapi mama menyarankan untuk mengikuti bimbingan belajar di kota ini sebagai bekal mengikuti SNMPTN dan sekaligus mendaftar di beberapa universitas swasta di sini.

Saya ke Makassar tidak berbekal apapun. Tak ada sanak saudara, apalagi tempat tinggal. Dan masalah pertama yang saya temui di sini adalah ‘bahasa’. Ya, bahasa. Saya benar-benar bingung dengan bahasa atau pun dialek yang diucapkan oleh warga di sini. Dan bahkan setelah bertahun-tahun saya tinggal di sini, saya terkadang masih sedikit tak mengerti. Terdengar aneh dan tak bisa saya pahami dengan cepat. Dan karena lambatnya proses berpikir saya dalam memahami bahasa inilah akhirnya muncul tulisan ini.

Jadi, beginilah kisahnya. Saat itu saya baru saja sampai di Bandara Sultan Hasanuddin. Berdiri di pojok sendirian, saya mulai memperhatikan orang-orang yang lalu lalang sembari mencari sosok teman kecil saya yang katanya akan menjemput. Entah karena saya kelihatan seperti anak hilang atau nyasar, tiba-tiba ada seorang nenek yang datang menghampiri saya. “Mau kemanaki?”, agak kaget saya menoleh dan memandang nenek tersebut. Wajahnya tak familiar. Saya terdiam. Cukup lama. Saya terdiam bukan karena kata mama tak boleh berbicara dengan orang asing. Saya terdiam juga bukan karena takut diculik. Tapi saya terdiam karena dalam hati sedang berpikir keras, “Ini nenek-nenek tahu nama saya dari mana?”.

Yah, sekedar informasi, nama panggilan saya lumayan banyak, tapi saya lebih sering dipanggil Kiky. Dan kalian pasti paham, mengapa saya cukup bingung mendengar pertanyaan sederhana dari nenek tersebut. Yup! Nenek itu menyebutkan nama saya! Ehm, lebih tepatnya sih, dia hanya menyebutkan penggalan kata terakhir dari nama saya. Hehehehe….

Saking bingungnya, akhirnya saya hanya bisa menjawab sambil terbata-bata, “Ini lagi nunggu dijemput Nek”. Setelah berujar demikan, saya pun langsung berpindah tempat sambil mengingat-ingat kembali wajah nenek itu. Apa dia kenalan saya? Apa tanpa sadar saya telah memperkenalkan diri? Atau jangan-jangan dia nenek saya yang telah lama hilang dan tertukar? Ah, tapi perasaan saya tak punya nenek yang hilang deh. Pikiran saya semakin aneh, sampai akhirnya saya melihat wajah familiar teman kecil saya yang bertambah kurus dan tinggi mirip jerapah.

Ko kenapa? Muka macam lihat setan saja.” Menggunakan dialek Papua, teman saya itu mengomentari wajah saya yang mungkin saat itu sepucat kertas putih. “Tadi sa ketemu nenek-nenek Jif”. Ia menaikkan alis tanda tak mengerti. Pasti ia mengira saya sudah gila karena merasa takut hanya karena bertemu nenek-nenek. “Itu nenek tau sa pu nama! Padahal sa tra kenal dia!” saya menjelaskan dengan sedikit histeris. “Memangnya nene da ada tanya ko apa jadi?”, berkerutlah kening teman saya itu. “Da tanya sa mau ke mana.”. “Terus?”, ia semakin tak paham. “Da tanya, mau ke manaki? Nah, aneh ka tidak? Da tau sa nama!”, setelah saya berucap demikian, meledaklah tawa Rajif – teman kecil saya – hingga wajahnya semerah buah tomat yang telah matang. Saya yang bingung jadi agak jengkel melihatnya seperti itu.

Sedikit bersungut, kutanyakan padanya mengapa ia tertawa demikian keras hanya karena mendengarkan cerita saya. Saya sama sekali tak berpikir ada yang lucu dengan hal tersebut. Lalu sambil menjitak dahi saya pelan, ia menjawab, “Dasar bego! Itu tuh memang bahasa orang di sini”. Kemudian setelah itu sepanjang perjalanan pulang, Rajif menjelaskan mengenai masalah dialek yang tadi. Saya yang baru saja paham, langsung terdiam dan merutuki kebodohan saya saat itu.

Astaga, ternyata saya hanya salah paham! Saya jadi malu sendiri.

Dan dari pengalaman saya itu, saya jadi punya saran untuk semua orang yang membaca tulisan ini. Sebaiknya, sebelum pergi ke suatu daerah yang belum pernah kita kunjungi sebelumnya, pelajari dulu bagaimana bahasa di sana. Jangan sampai kita jadi salah paham dan tidak mengerti dengan tujuan dan maksud baik orang lain. Seperti saya! Hehehe…..

Tapi karena sekarang saya sudah cukup mengerti dengan dialek orang Makassar, saya jadi ingin membagikan sedikit tentang partikel-partikel (eh?) yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Semoga saja bisa membantu teman-teman dari luar daerah ketika nantinya berkunjung ke Makassar.

  1. Kata ‘mi’, biasanya digunakan pada kalimat bernada perintah atau permintaan atau bisa juga menandakan suatu pekerjaan telah selesai dilakukan. Contoh : Makanmi (artinya : makanlah / sudah makan), pergimi (artinya : pergilah / sudah pergi)

Tapi kadang-kadang kalian bisa jadi salah arti ketika mendengar percakapan di bawah ini :

A : Masukmi pak. Mau makanmi orang.

B : (kabur, dikira ketemu kanibal)

Padahal sebenarnya maksud dari percakapan di atas adalah si A mengajak si B untuk masuk ke ruangan, karena orang-orang di dalam akan segera makan.

  1. Kata ‘ki’, partikel yang satu ini biasanya digunakan untuk mempersopan atau memperhalus suatu kalimat. Contoh : Mau ke manaki? (artinya : Mau ke mana? , tapi di tambah ‘ki’ agar terdengar lebih sopan.)
  1. Kata ‘nah’. Kalau partikel yang ini, artinya adalah ‘ya’. Bukan ‘ya’ dalam mengiyakan sesuatu, tapi lebih seperti kata ‘ya’ di akhir kalimat. Contoh : Nonton yang ini saja nah? (kalo di-bahasa indonesia-kan kalimatnya jadi seperti ini : Nonton yang ini saja ya?)

Sebenarnya masih banyak lagi partikel-partikel lainnya. Tapi berhubung saya pun masih belajar, takutnya malah mengajarkan yang salah. Hehehe….. Semoga saja tulisan ini bermanfaat!

2 thoughts on “Dialek Makassar yang Bikin Salah Paham

Leave a Reply