Demam Berdarah; Demam yang Tak Boleh Diabaikan

Dering telepon genggam saya memecah keheningan malam. Saat itu pukul 00.30 dini hari, saya baru saja memejamkan mata beberapa menit. Sepuluh menit? Lima menit? Semenit? Entahlah. Lelah, saya menggeser tanda hijau ke arah kanan tanpa melihat siapa yang menelepon. Ternyata itu dari salah seorang perawat di bangsal perawatan anak, mengabarkan bahwa ada pasien yang didiagnosis dengan demam berdarah dan sedang tak bagus kondisinya. Oh iya, sebagai tambahan, trombosit pasien hanya sembilan belas ribu. Sangat rendah jika dibandingkan dengan nilai normal yang seharusnya berkisar antara seratus lima puluh ribu hingga empat ratus ribu.

Seketika mata saya terbuka lebar. Tergesa saya meraih stetoskop oranye yang tergeletak begitu saja di atas meja putih milik perawat dan mulai berlari dari UGD menuju bangsal. Saya tak lagi memperhatikan apakah sepatu yang saya pakai masih berpasangan dengan pasangannya ataukah telah berganti dengan pasangan yang lain. Jas putih yang tadinya saya pakai tidur meringkuk menutupi tubuh sebagai pengganti selimut hanya saya genggam sembarangan tanpa sempat dipakai. Bisa dibilang, keadaan saya malam itu terlihat sangat berantakan.

Sesampainya di bangsal saya pun segera bertanya dimanakah pasien yang dimaksud di percakapan telepon tadi dan segera mengecek kondisinya. Tampaklah seorang anak perempuan berumur 9 tahun yang terbaring lemah di samping ibunya. Bibirnya terlihat kering, kulitnya pucat dan matanya cekung. Jelas ia dehidrasi. Saya meminta ijin kepada ibunya untuk memeriksa keadaan anaknya, memastikan tekanan darahnya dalam kondisi stabil. Namun, ternyata tekanan darah yang terdengar hanyalah 70/40 mmHg dan itu bukanlah suatu hal yang bagus. Suhu tubuhnya pun mencapai 39°C. Berusaha tenang, saya mengatakan pada ibu dan ayahnya untuk memasangkan satu lagi selang infus pada pasien tersebut.

Usai memberikan instruksi kepada perawat, saya ingin segera beranjak melihat pasien di perawatan lain yang baru saja dimasukkan dari UGD, namun karena gelisah, akhirnya saya bertahan di sana dengan keadaan setengah sadar untuk memastikan keadaan pasien tersebut baik-baik saja. Tak terasa saya tertidur sambil menelungkupkan wajah di meja, saya terbangun sekitar empat puluh menit setelahnya, memeriksa lagi kondisi pasien yang terlihat agak rewel. Ibunya bahkan marah-marah kepada saya, “Dok, ini bagaimana sih? Tadi anakku diam-diamji, ndak kenapa-kenapa. Sekarang kenapa menangis terus sejak ditambahi lagi infusnya? Baik-baikji anakku tadi kenapaki malah kasih begini anakku?”

“Begini, Bu. Keadaan anakta tadi ndak bagus. Tekanan darahnya rendah sekali, anakta tadi bukannya baik-baik saja, tapi dia diam karena lemas, belum lagi trombositnya sisa 19.000 mami, kalau ndak segera saya kasih tambahan cairan, sekarang pasti keadaannya lebih buruk lagi.” Saya masih berusaha bersikap ramah dan menjelaskan keadaan anaknya dengan sesederhana mungkin.

“Tapi pas di puskesmas tadi pagi, menangis anakku karena ndak mau dipasangi infus, akhirnya dilepasji juga infusnya sama suster di sana. Ndak kenapa-kenapaji. Jadi lepasmi itu infusnya, Dok.”, kali ini ayahnya yang angkat suara sambil melipat kedua lengannya di dada, menunjukkan sikap tak suka.

Mengantuk. Lelah. Semua bercampur jadi satu. Tapi tak mungkin saya memarahi orangtua pasien hanya karena ketidakpahaman mereka. Saya hanya bisa menghela napas dalam dan mengucapkan kata sabar berkali-kali dalam hati. “Banyak orangtua pasien begitu, Dok. Suka sok tahu. Dikasih tahu dokter kayak begini, mereka maunya begitu. Padahal untuk kebaikan anaknyaji juga.” Ujar kak Ida, salah satu perawat yang menemani saya di shift malam itu. Saya hanya bisa tersenyum kecut sambil mulai mengisi lembar rekam medis pasien tersebut.

Pagi harinya, lepas jam jaga malam, saya kembali ke rumah dinas hanya untuk mandi dan berganti pakaian kemudian kembali ke rumah sakit untuk menunaikan kewajiban tiap harinya bertugas di poliklinik umum. Ternyata, seorang teman sejawat yang bertugas di UGD juga mengalami hal serupa. . Ia menceritakan ada juga ibu-ibu yang bawel dan ngeyel tak mau mengikuti apa yang sudah diinstruksikan. “Malah ibunya mau pulang paksa saja, padahal anaknya lagi lemas sekali, ndak mau minum, trombositnya juga turun sekali, tapi dia ndak mau diinfus. Ndak mau juga dirawat. Jadi untuk apa pale na bawa anaknya ke UGD? Bikin geregetan karena seharusnya anaknya dirawat inap.”, tutur teman saya saat itu.

Nah, inilah yang selalu menjadi masalah bagi para orangtua. Sebagian dari mereka tak mengerti betapa berbahayanya penyakit yang disebut demam berdarah itu. Menurut mereka, ketika anak mereka tak menangis, tak rewel, itu artinya mereka baik-baik saja. Padahal, kematian selalu mengintai mereka yang terserang virus demam berdarah, jika penanganannya tak dipahami.

Demam berdarah itu sendiri disebabkan oleh virus dengue yang diperantarai oleh nyamuk. Jadi ia tak bisa ditularkan tanpa adanya gigitan nyamuk Aides Aegypti yang telah terinfeksi. Gejala yang ditimbulkan adalah demam tinggi hingga mencapai 41°C, nyeri kepala, nyeri sendi, otot dan tulang. Biasanya juga disertai dengan bintik-bintik merah pada kulit. Bintik-bintik ini menunjukkan bahwa trombosit atau sel darah yang membantu pembekuan darah penderita sedang menurun. Untuk gejala demamnya sendiri, biasanya akan terjadi terus menerus dan membaik di hari ketiga atau keempat kemudian akan kembali meninggi di hari keenam atau ketujuh. Tapi, ketika suhu menurun, disinilah fase berbahayanya. Di saat suhu kembali normal, sebenarnya trombosit juga ikut menurun, akibatnya mudah terjadi perdarahan dimana-mana. Entah itu hanya sekedar gusi yang berdarah, buang air besar berwarna kehitaman atau merah segar ataupun mimisan. Jika dibiarkan begitu saja tanpa penanganan yang tepat, bisa mengakibatkan syok hipovolemik* yang akan berujung kematian.

Nah, bagian syok inilah yang harus ditangani sesegera mungkin. Terapi cairan yang saya berikan untuk meningkatkan tekanan darah pasien yang saya sebutkan di atas tak dipahami oleh ibunya. Apalagi untuk anak yang tak bisa makan atau minum. Satu-satunya cara untuk menjamin asupan cairannya adalah melakukan pemasangan infus. Ya. Penanganan utama untuk demam berdarah ada terapi cairan. Karena penyebabnya adalah virus yang menurunkan trombosit, akhirnya kita hanya bisa mengobati gejalanya saja sembari memberikan asupan cairan yang cukup untuk menghindari syok hipovolemik sambil terus memantau jumlah trombosit pasien.

Bagaimana caranya mencegah penyakit ini? Apalagi di musim penghujan, tampaknya demam berdarah menjadi penyakit yang endemik. Sebenarnya cukup mudah, semprotkan pembasmi nyamuk di rumah dan juga di sekitar rumah kamu, bersihkan bak mandi dan menutupnya agar tak jadi tempat nyamuk berkembang biak, pakai kelambu saat tidur dan makan makanan bergizi agar tak mudah terserang virus.

Demam berdarah memang penyakit yang umum terjadi, tapi bukan berarti bisa diabaikan begitu saja. Jika anak, adik atau keluarga kamu menderita penyakit ini, pastikan ia mendapatkan asupan cairan yang cukup dan jika perlu segera bawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan penanganan yang tepat. 🙂

 


Catatan kaki :
*syok hipovolemik : kondisi medis yang ditandai dengan ketidakmampuan jantung memompa darah untuk menyediakan oksigen yang cukup ke seluruh tubuh dikarenakan volume darah yang rendah. Hal ini biasanya disebabkan oleh kehilangan darah yang banyak atau dehidrasi berat.

Referensi :
http://www.alodokter.com/demam-berdarah
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3097561/
Discussion Papers of Child Health : Dengue, Dengue Haemorraghic Fever and Dengue Shock Syndrome in the Context of the Integrated Management of Childhood Illness (WHO)

 

 

3 thoughts on “Demam Berdarah; Demam yang Tak Boleh Diabaikan

Leave a Reply