[Cerpen] Rahasia Winda

Perlahan mataku terbuka, kudapati tubuhku telah berada dalam kamar tidurku. “Dimana Winda?” gumamku.

“Ia sudah dikebumikan sore tadi,” jawab ibuku yang mungkin sudah sejak tadi menungguiku saat aku tak sadarkan diri.

Aku terhenyak. Pikiranku tiba-tiba kosong. Tak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirku. Ingin rasanya ku teriak dan menangis sambil meratap. Tapi otakku tak mampu menerima semua yang ingin kulakukan. Aku hanya duduk dan diam. Diam dalam derasnya hujan sore itu, diam dalam semua penyesalan yang terguyur tetesan hujan, diam dalam kenangan akan sore terakhir aku bersama Winda.

♥♥♥

Aku tengah sibuk belajar ketika Winda mengetuk pintu kamarku. Sore itu, ia terlihat manis dengan cardigan pink kesukaannya dan celana katun warna muda. Seketika aku merasakan firasat buruk, dan benar saja, tiba-tiba ia tersenyum nakal dan menghentikan aktifitas belajarku.

“Dy, temani aku ketemu Eza dong…..” rajuknya. Aku melengos. Ngapain juga sih nganterin orang pacaran? Pikirku.

“Dy, mau ya…….” rengeknya lagi. Aku menghela napas dan berpikir sejenak sebelum menganggukkan kepalaku.

“Hore!” soraknya girang sambil memelukku erat.

Alhasil, sore itu kami berjalan bersama ke tempat Eza menunggu Winda. Di sepanjang jalan, banyak orang yang melirik kearah kami, dan aku benci situasi ini. Bagaimana tidak? Mereka pasti tengah membanding-bandingkan aku dengan Winda. Cewek pintar yang cantik dan mempesona. Oohh…….tiba-tiba saja aku muak dengan diriku sendiri. Mengapa aku harus lahir bersamaan dengan dirinya?

“Windy, Eza di sana tuh!” ujar Winda membuyarkan lamunanku.

“Oh iya, kamu aja deh yang kesana.” kataku cepat. Winda tampak keberatan, namun akhirnya ia meninggalkanku juga dan berlari menghampiri Eza. Dari jauh aku memperhatikan mereka. Ada rasa cemburu membakar hatiku. Tapi segera saja aku membuangnya jauh-jauh. Ingat Windy, Eza itu pacar Winda.

Beberapa menit kemudian Winda dan Eza berjalan menghampiriku. “Hai Dy,” sapa Eza.

“Hai.” Jawabku singkat.

“Jutek amat.” ujar Eza yang sontak membuat wajahku memerah. Winda memperhatikan perubahan rona mukaku, dan aku pun segera menyadarinya dan mulai mengontrol perasaanku.

“Biasa aja lagi. Kamu sama Winda lanjutin aja acara kencannya, aku mau pulang duluan.” Putusku akhirnya.
Aku pun segera berbalik dan berjalan dengan cepat tanpa menghiraukan panggilan-panggilan Winda. Aku sudah cukup muak dengan semua ini. Aku benci diriku yang tak bisa apa-apa di depan Winda. Aku benci diriku yang selalu dibanding-bandingkan dengan Winda. Winda selalu merebut apa yang kuinginkan dan dia selalu mendapatkan apa yang ia mau.

“Windy!” panggilnya lagi. Akhirnya aku berhenti dan berbalik menatapnya marah. “Kenapa kamu pulang?” Tanya Winda dengan wajah polosnya.

“Emang kenapa? Suka-suka aku dong! Lagian kamu ngajak aku ketemuan sama Eza cuma untuk pamer kan?” bentakku. Winda terlihat kaget. Ia tak menyangka aku akan berkata sekasar itu. “Maksudmu apa?” tanyanya bingung.

Emosiku yang sudah kupendam dari dulu nampaknya sudah mencapai klimaks. Dan kata-kataku pun mengalir begitu saja, “Kau Tanya maksudku? Sudah jelas kau tahu! Aku benci selalu jadi bayang-bayangmu, Winda! Aku benci! Kau selalu merebut apa yang ingin kumiliki, termasuk Eza!”

“Dy, aku…….” Winda mencoba memegang tanganku.

“Apa????” teriakku sambil mendorong tubuhnya dengan keras kearah jalan raya. Namun, seketika itu juga aku menyesal telah mendorongnya, karena dari arah jalur mobil, ada truk yang melintas dengan kecepatan tinggi dan menghantam tubunya tanpa ampun.

“Tidaaaaaak………” teriakku nyaring, dan selanjutnya aku merasakan tubuhku hancur remuk ketika tubuh Winda tergelepar jatuh dengan darah berlumuran di sekujur tubuhnya. Tiba-tiba semuanya gelap, dan aku pun tak sadarkan diri.

♥♥♥

Sekarang aku berada di kamar tidur Winda. Seharusnya aku senang karena orang yang menjadi rivalku selama ini telah tiada. Tapi kenyataannya, perasaanku hampa dan banyak pikiran berkecamuk di dalam otakku. Kamar itu masih seperti yang dulu. Berwarna pink, dengan tempelan poster kami berdua yang kami buat saat SMP dulu. Aku duduk di tepian kasurnya. Empuk dan nyaman. Aku diam dalam sepi. Tanganku menjelajahi setiap dudut kamarnya, namun terhenti ketika mataku menangkap siluet buku diary berwarna pink tersembul dari balik bantal. Penasaran, aku pun meraih dan membukanya perlahan. Jantungku berdetak tak karuan. Ini adalah buku harian Winda, bolehkah aku membacanya? Tanganku bergetar hebat ketika ku buka halaman demi halaman diary itu. Aku terpaku membaca tulisan di dalamnya.

Sabtu, 21 Juli 2006
Dear Diary,
Aku tahu kalo Windy suka sama Roy. Tapi, Roy itu brengsek! Aku nggak mau Windy sakit hati. Jadi, sudah kuputuskan kalo aku yang bakalan jadian dengan Roy, bukan Windy.

Aku menangis membaca tulisan Winda. Jadi selama ini…..

Selasa, 16 Agustus 2006
Dear Diary,
Papa bilang akan menyekolahkan Windy ke luar negeri kalo nilai-nilainya meningkat terus. Aku nggak mau pisah sama Windy. Aku harus melakukan sesuatu.

Aku tercengang membaca tulisan Winda. Jadi itu sebabnya, selama ini dia berusaha untuk selalu unggul dalam prestasi dibandingkan aku? Tak terasa air mataku kembali menetes.

Kamis, 25 Mei 2008
Dear Diary,
Hari ini hari ulang tahun ku dan Windy. Tapi dia nggak mau ngerayain bareng aku. Belakangan baru aku tahu kalo dia lagi dekat dengan Eza. Aku nggak mau Windy jadi milik orang lain. Windy Cuma milikku! Cuma milikku! Aku menyayanginya………

Hahh??? Aku melongo membaca kalimat terakhir itu. Ternyata semua yang pernah dia lakuin semata-mata karena dia menyayangiku? Aku menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Kubuka halaman-halaman selanjutnya dan berhenti di halaman terakhir buku itu ditulis.

Minggu, 14 September 2008
Dear Diary,
Ternyata semua yang telah kulakukan hanya membuat Windy sedih. Kemarin aku melihatnya menangis di kamar. Aku tahu, Windy cemburu padaku. Tapi aku lebih cemburu lagi jika harus melihatnya bersama orang lain. Haaahhh……baiklah, hari ini aku harus merelakan Windy untuk Eza. Aku memang tidak normal mencintai kembaranku sendiri.

Bukk! Buku diary itu terjatuh dari genggaman tanganku. Seketika mataku berkunang-kunang, dan selanjutnya aku sudah tak sadarkan diri. Yang kuingat hanyalah jeritan ibuku yang berteriak histeris menyebut namaku.

Leave a Reply